Arung Palakka: Sang Pembebas

Gambar Produk 1
Rp 97.750
Ukuran: 12,5 x 19 cm
Kertas Isi: BookPaper bw
Jumlah: 188 hlm
Sampul: ArtPaper/Kinstruk 230 gr
Arung Palakka Datu Mario La Tenri Tatta Petta Malampee Gemmeqna, adalah sosok manusia yang telah berjuang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia sebangsanya.

Orang-orang Bugis (Bone-Soppeng) yang tertindas kemanusiaannya dibela dan dibebaskannya dari kerja paksa di Benteng Somba Opu Negeri Gowa pada abad ke 17.

Meskipun mendapat perlakuan khusus oleh Raja Gowa ketika itu namun ia tidak rela melihat nasib rakyatnya yang menderita. Ia lebih mencintai kemanusiaan daripada hidup manja dan terhormat di atas derita rakyatnya.

Penerbitan buku ini perlu disambut baik untuk memberikan pembelajaran berharga bagi generasi muda, tentang bagaimana menghargai dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Sosok Arung Palakka Datu Mario sebagai Sang Pembebas sudah sepantasnya dijadikan teladan dan diwarisi semangatnya oleh generasi muda Bugis dewasa ini. Terutama dalam berjuang membangun bangsanya.

Dalam buku ini kita diantar untuk ikut mengembara bersama Sang Pembebas dari satu tempat ke tempat lainnya, sambil menghalau berbagai rintangan yang menghadang. Sampai pada saatnya ia menjadi kuat dan tangguh untuk melakukan perlawanan. Perjuangan tak mudah menyerah ini pula harus diwarisi oleh generasi muda sekarang ini.

Akhirnya kami merekomendasi buku ini sebagai buku yang layak dan mesti dibaca oleh Generasi Muda, khususnya Bugis dimanapun ia berada. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya.

Penulis

***

Arung palakka merupakan tokoh legendaris, khususnya bagi rakyat Bone dan Soppeng. Dialah yang memimpin perlawanan terhadap Kerajaan Gowa yang dianggap berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya, khususnya pada peristiwa kerja paksa untuk membuat parit di pesisir laut mulai dari Barombong sampai Ujung Tana. Arung Palakka telah menjadi pahlawan di hati rakyat Bone dan Soppeng.

Perlawanan Arung Palakka untuk membebaskan rakyatnya memang menjadi kontroversial dalam konteks pemberian gelar pahlawan. Sebab saat itu, Arung Palakka bekerjasama dengan VOC (Belanda) yang dalam konteks Indonesia dianggap sebagai penjajah. Namun dalam konteks membebaskan kerajaan atau rakyatnya dari penjajahan atau penindasan kerajaan lain tentunya menjadi sesuatu yang berbeda.

Namun apapun itu, tokoh Arung Palakka tetap dianggap sebagai sang pembebas bagi rakyatnya. Dengan gagah berani dan menggunakan berbagai strategi, ia mampu membawa rakyat Bone dan Soppeng kembali menjadi kerajaan yang berdaulat dan memiliki posisi penting di antara kerajaan-kerajaan, khususnya yang ada di Sulawesi Selatan.

Roman yang ditulis oleh La Side dan diterjemahkan Ahmad Saransi ini memberikan gambaran yang menarik dari perjalanan perjuangan Arung Palakka dalam membebaskan rakyat Bone dan Soppeng dari penindasan. Cerita dalam buku ini dikemas dalam bahasa dan gaya tutur yang ringan dan mengalir. Roman yang ditulis menggunakan huruf lontara’ ini memiliki alur cerita yang menarik. Karakter tokoh kuat. Inilah yang membuat cerita dalam buku ini lebih hidup dan memiliki keunikan tersendiri. Semoga buku ini bermanfaat.

Penerbit

***

Sambutan

DR. Ajiep Padindang, SE, MM

ARUNG PALAKKA Datu Mario La Tenritatta Petta Malampee Gemme’na, nama yang tidak asing bagi orang Sulawesi Selatan. Namanya tercatat dalam sejarah negara-negara kerajaan Bugis abad XVII, tentu lebih khusus bagi Kerajaan Bone dan Soppeng. ARUNG PALAKKA sang pejuang, sang pembebas, pemerdeka bagi bangsa Bugis Bone dan Soppeng yang dalam tulisan La Side yang diterjemahkan Andi Ahmad Saransi ini, disajikannya dalam bentuk Roman.

Banyak sekali tulisan tentang tokoh herorik yang dianggap kontrofersial ini, jika dilihat dalam sejarah pergerakan Kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya dimulai tahun 1908, sementara fase perjuangannya adalah tahun 1643–1667. Mattulada dalam bukunya La Toa, Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, menuliskan bahwa pada saat La Tenritta berhasil merebut kembali tahta Tana Bone dan menjadi Raja Bone ke-14 (1667-1696), Arung Palakka berusaha dengan segenap daya upaya mempersatukan kembali Tana Ugi, dengan mengingatkan mereka kepada perjanjian ‘Tellumpoccoe’ yaitu Lamumpatue ri Timurung. “Raja ini pada akhirnya dapat mempersatukan kembali Tana Ugi dibawa kekuasaannya, setelah melalui peperangan yang sengit sehingga digelar ‘Datu Tungkenna Tana Ugi’ (Raja Tunggal Tana Ugi),” tulis Mattulada.

Meskipun buku ini bersifat Roman, tetapi tentu mengandung makna kesejarahan. Kalau begitu, kita sebut saja ‘Roman Sejarah’, sebab fakta-fakta yang terungkap dibaliknya adalah suatu bukti bahwa Arung Palakka berhasil membuat sejarah dan menyejarah dalam zamannya, bahkan hingga sekarang dan dimasa mendatang. Sejarah kejuangan Arung Palakka, tidak akan lekang oleh zaman, sebab makna terdalam yang diperjuangkannya adalah menegakkan pangngadereng Tana Ugi’. Ade’ nasibawa Siri’, maka mati taruhannya (Sunge’ naranreng, mate paggangkanna). Itulah yang senantiasa merasuk dalam diri Arung Palakka, sehingga mengembara ke Buton ( Sulawesi Tenggara sekarang), Batavia (Jakarta sekarang), Pariaman dan Minangkabau (Sumatra Barat, sekarang). Bahkan dalam keadaan terpaksa dan tidak ada jalan lain selain membangun hubungan bilateral dengan Kerajaan Belanda untuk mendapatkan amunisi baru, berupa uang, pesersenjataan bahkan prajurit untuk membebaskan kerajaannya dari kekuasaan kerajaan Gowa.

Arung Palakka bukan tokoh yang suka mengukuhkan diri sebagai penguasa, sebab ketika ia sebagai Raja Bone, justru lebih banyak bermukim di Bontoala, Makassar. Sang Pembebas itu, menurut Andi Ahmad Saransi, menghabiskan sisa hidupnya dengan kondisi keluarga yang memprihatinkan sebagai seorang penguasa kerajaan-kerajaan Bugis. Hal ini terlihat ketika Arung Palakka jatuh sakit, ia justru menolak obat yang diberikan orang Belanda. Tapi dengan uangnya sendiri digunakan membeli obat.

Arung Palakka, pewaris nilai kekeluargaan dan kekerabatan, pembangun peradaban baru dan cikal bakal lahirnya wilayah territorial Sulawesi Selatan. Melalui kemanakannya yang bernama La Patau Matanna Tikka, Matinroe ri Nagauleng, tampuk kepemimpinan Kerajaan Bone diserahkan dengan amanah harus mengikat tali perkawinan dengan raja-raja di wilayah Sulawesi Selatan. Persatuan dan kesatuan yang dibangun melalui politik perkawinan itulah melahirkan konsep ‘Sompulolo’ (keterkaitan keluarga). Dengan konspenya, semua raja-raja berikutnya di kerajaan besar di Sulawesi Selatan, terutama setelah masa La Temmassonge’ sebagai Raja Bone, bertalian keluarga satu dengan lainnya. Maka sesudah fase kepemimpinan Arung Palakka, hampir tidak ada lagi perang antar negara Kerajaan di Sulawesi Selatan.

Arung Palakka, bukan hanya sekadar Pembebas dari perang antar kerajaan, tetapi sekaligus pemersatu, peletak dasar terwujudnya suatu bangsa yang besar. Itulah sebabnya, Andi Mappanyukki sebagai Raja Bone yang menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan mudah meyakinkan semua raja-raja di Sulawesi untuk menerima kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Bersama mertuanya, Andi Jemma (Datu Luwu), yang lebih dulu menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Andi Mappanyukki menyakinkan raja-raja tersebut untuk rela melepas kekuasaan dan melebur negaranya ke dalam NKRI, tanpa pamrih. Negara-negara kerajaan yang telah dipersatukan dalam tali kekeluargaan (Sompulolo) ini pun resmi bergabung dengan NKRI. Walau muncul pertanyaan kemudian, apa yang telah NKRI berikan pada eks wilayah kerajaan-kerajaan itu?

Semoga buku tentang Arung Palakka ini dapat memberi hikmah dari perjalanan seorang tokoh pejuang dan pahlawan yang gigih mempertaruhkan jiwa raga dan harta bahkan harkat kediriannya demi kemerdekaan bangsanya Kerajaan Bone dan Soppeng abad XVII. Salamaq ki’ to padasalamaq.

Jakarta, Februari, 2015

H. Ajiep Padindang bernama asli H. Andi Jamaluddin P, menyelesaikan study S3 pada Program Pascasarjana UMI Makassar, kini SENATOR (Anggota DPD RI/MPR RI), periode 2014-2019, setelah sebelumnya menjadi Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, 1997-2014. Pengelola Pusat Kajian dan Pengembangan Budaya Bugis dan Pembina Sekolah Peradaban Bugis di Ponceng, Watampone, Kabupaten Bone.

***

Pengantar Penerjemah

ARUNG PALAKKA adalah seorang tokoh yang sangat populer dalam masyarakat Bugis dan umumnya dalam masyarakat di Sulawesi Selatan. Meskipun pada awalnya tokoh ini diinterpretasi oleh sebagian orang dengan satu citra yang kurang tepat. Namun dalam perkembangan selanjutnya ketika masyarakat Sulawesi Selatan semakin cerdas pemahaman sejarahnya akhirnya dapat dipahami posisi sesungguhnya tokoh Arung Palakka dalam peta tokoh sejarah dan perjalanan kehidupannya.

Arung Palakka kemudian menjadi bahan perhatian oleh banyak ilmuwan yang kemudian menjadikannya bahan kajian, khususnya dalam bidang sejarah. Dari hasil penelitian mereka kemudian lahir banyak buku tentang tokoh ini yang semakin menguatkan citra positif dalam perjuangannya.

Namun ketika citra positif itu terbangun pada Arung Palakka, tidak lantas menimbulkan citra buruk di pihak atau tokoh lain. Justru terjadi penguatan di kedua sisi. Karena semakin jelas apa sesungguhnya yang mereka perjuangkan dan bagaimana mereka masing-masing mempertahankan citranya.

Ketika saya menemukan buku bacaan yang beraksara lontaraq dan dalam Bahasa Bugis karya La Side (almarhum) saya sangat terkesan. Gaya penceritaan La Side yang luwes dan tidak terkesan serius membuat kita betah membacanya. Saya pikir juga bagi mereka yang bukan pembaca sejarah akan menyukai bacaan La Side ini.

Sebagai orang yang belajar sejarah saya merasakan ada nuansa lain dalam kisah Arung Palakka yang bergaya cerita roman ini. Sehingga lahirlah keinginan saya untuk menerjemahkannya, agar lebih banyak orang yang menikmatinya, dan mengetahui perjalanan perjuangan Arung Palakka Sang Pembebas itu.

Proses penerjemahannya pun dilakukan dengan sistem terjemahan bebas terikat. Artinya terjemahan dilakukan dengan berupaya mencari arti kata yang sedekat mungkin dengan bahasa sumber. Beberapa kata yang sulit dicarikan padanan kata yang benar-benar cocok harus diberi terjemahan yang bebas untuk menjelaskan makna kata tersebut.

Dalam bahasa sumber Arung Palakka tidak hanya memiliki satu nama yang kadang dipakai secara berbeda-beda. Kadang menggunakan nama Arung Palakka, Datu Mario, La Tenri Tatta, Petta Malampee Gemmekna, Daeng Serang, dan sesekali menggunakan sekaligus secara bersamaan. Misalkan Arung Palakka Datu Mario La Tenri Tatta Daeng Serang To Appatunruq Petta Malampee Gemmeqna, dan kadang pula hanya menggunakan sebagian dua atau tiga nama sekaligus tanpa menyebut Arung Palakka-nya. Dengan sistem penamaan seperti ini, menurut saya sebagai penerjemah dapat mengganggu pembacaan, sehingga penerjemah melakukan beberapa perubahan dengan lebih banyak menggunakan Arung Palakka, atau menggunakan dua atau tiga nama tambahannya, tetapi tetap mengikutkan Arung Palakka. Misalnya Arung Palakka Datu Mario, La Tenri Tatta Arung Palakka, Arung Palakka Petta Malampee Gemmeqna, dan lain-lain sebagainya.

Beberapa nama tokoh yang memiliki gelar anumerta yang digunakan oleh penulis dengan terpaksa penerjemah melepaskannya untuk sementara, karena akan mengganggu pembaca. Tokoh-tokoh yang dilepas nama anumertanya adalah tokoh yang dalam cerita masih hidup. Lain halnya dengan tokoh yang sudah mati yang memang sudah sepantasnya menyandang nama tersebut misalnya Kakek Arung Palakka La Tenriruwa, ketika pada awal cerita ia belum pantas menyandang gelar anumertanya, tetapi setelah ia diceritakan sudah meninggal, maka ia pun bernama La Tenrirua Matinroe ri Bantaeng, nama Matinroe ri Bantaeng inilah nama gelar anumertanya.

Buku ini tentulah sangat baik sebagai pembelajaran sejarah bagi kalangan generasi muda untuk meningkatkan apresiasi terhadap sejarah bangsa Indonesia.

H. A. Ahmad Saransi

ORDER VIA CHAT

Produk : Arung Palakka: Sang Pembebas

Harga :

https://www.pustakasawerigading.com/2022/10/arung-palakka-sang-pembebas.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi