Ensiklopedia Kesusastraan Daerah Bugis Makassar Mandar Toraja Massenrempulu
Rp 230.000
Penulis : Suradi Yasil
Ukuran : 16 x 24 cm
Kertas Isi: HVS bw
Jumlah : 367 hlm
Sampul : ArtPaper 230 gr
Ukuran : 16 x 24 cm
Kertas Isi: HVS bw
Jumlah : 367 hlm
Sampul : ArtPaper 230 gr
Bagaimana posisi kesusastraan daerah dalam konteks kebudayaan Indonesia? Secara tak langsung dijawab oleh pakar budaya Prof. Dr. Edi Sedyawati bahwa kekhasan budaya, di samping memberi isi kepada jati diri budaya bangsa, juga merupakan milik yang dapat diposisikan sebagai keunggulan komparatif dalam bidang industri budaya... Dalam kurikulum perlu ditegaskan bahwa kebudayaan bangsa meliputi medua aspek: kebudayaan nasional dan suku-suku bangsa (Kompas, 12 Desember 2005).
Oleh karena itu, buku ini sangat layak menjadi bacaan masyarakat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, khususnya yang memiliki perhatian terhadap kesusastraan di kedua wilayah tersebut.
------------------
Nilai budaya, sifat manusia, dan informasi lainnya tergambar dalam kesusastraan daerah di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat ketika membaca ensiklopedia ini.
Jumlah entri yang termuat masih sedikit dari yang lengkap. Tetapi sebagai langkah awal yang telah dilakukan oleh saudara Suradi Yasil menyusun ensiklopedia ini patut disambut baik.
Pelajar dan masyarakat umum di daerah kita dianjurkan membaca dan merenungkan amanat atau pesan serta informasi lainnya yang disampaikan karya sastra-karya sastra masa lampau bangsa Indonesia, baik yang ada maupun yang tidak ada di dalam ensiklopedia ini.
Prof. Kadir Manyambeang
Guru Besar Fakultas Sastra dan Fakultas Pascasarjana Universitas Hasanuddin
***
Ketika kita membicarakan pengaruh kesusastraan asing dalam kesusasteraan Indonesia, kita harus melihat vista sastra Indonesia dari masa lalu hingga masa kini. Sebagai langkah awal, kita dapat melayangkan pandangan jauh ke belakang, ke masa Hamzah Fansuri mula bersyair dan bernazam atau ke zaman Nuruddin Ar-Raniry ketika melahirkan Bustanul Sallatin (Taman Raja-Raja) dan ketika Raja Ali Haji melahirkan Bustanul Katibin (Taman Para Penulis).
Hasil kesusastraan di zaman itu lebih sering disebut oleh sarjana sastra Indonesia-Melayu sebagai bagian dari sastra lama Indonesia dan dilanjutkan dengan sastra baru (modern) Indonesia yang dimulai sejak munculnya percetakan di Hindia Belanda dan diramaikan oleh kelompok Pujangga Baru. Meskipun demikian, patut diketahui bahwa sastra baru Indonesia pun sudah dipelopori oleh penulis Tionghoa peranakan yang mula pertama memperkenalkan cerpen dalam kesusastraan Indonesia modern.
Karya sastra Indonesia (Nusantara) lama itu sudah dimulai sejak abad ke-16 pada zaman Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniry, dan Syamsuddin Al-Sumatrani hingga periode para wali di Jawa yang banyak menghasilkan suluk sebagai pengaruh budaya Islam. Namun, di Jawa jauh sebelum Islam masuk pun sudah memiliki karya sastra kakawin yang mendapat pengaruh dari India.
Kesusastraan asing yang paling berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia lama adalah kesusastraan Arab dan Parsi (Persia). Jejaknya itu dapat kita baca pada naskah lama yang ditulis dalam aksara Arab Melayu dan tersebar luas hingga ke seluruh wilayah Nusantara. Karya sastra dari Arab dan Parsi itu banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu serta meninggalkan bentuk hikayat, syair, gazal, rubai, gurindam, masnawi, dan barzanzi dalam khazanah sastra Indonesia lama.
Sesudah berlalunya tradisi pernaskahan di Indonesia, pengarang Indonesia modern, yang dimulai oleh penulis Cina Peranakan, masih menulis syair dan pantun dalam karya cetak. Pada tahun 1912, misalnya, sudah mulai ditemukan cerita pendek yang awal dalam buku cerita Warna Sari yang terbit di Surabaya. Cerita pendek yang dimuat itu berjudul “Si Marinem” karya H.F.R. Kommer dan ditulis dalam ragam bahasa Melayu rendah (Sastri, 2012).
Pada masa Angkatan Pujangga Baru perkenalan para penulis dan pembaca karya sastra dengan karya sastra Eropa, khususnya Belanda, semakin mudah diperoleh, baik melalui buku pelajaran di sekolah maupun melalui karya saduran. Jika sebelumnya karya sastra asing, seperti Arab dan Parsi, diperoleh melalui hubungan perdagangan, karya sastra Eropa diperoleh melalui dunia pendidikan pada masa Hindia- Belanda.
Pada zaman Jepang, pengaruh kesusastraan asing, seperti Jepang, tidak terlalu banyak berarti dalam kesusastraan Indonesia. Hal itu disebabkan singkatnya masa pendudukan Jepang dan tidak adanya upaya penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa Indonesia pada saat itu. Penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa Indonesia dimulai pada tahun 1972 ketika Anas Ma’ruf menerjemahkan novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata ke dalam versi Indonesia dengan judul Negeri Salju (Pustaka Jaya, 1972).
Sesudah kemerdekaan, sekitar tahun 1960-an, pengaruh kesusastraan asing dalam karya sastra Indonesia lebih disebabkan pengaruh ideologi, seperti komunisme dari Uni Soviet. Hal itu dapat kita temukan pada karya para penulis Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang banyak menerjemahkan karya sastra Rusia yang beraliran kiri.
Oleh karena itu, buku ini sangat layak menjadi bacaan masyarakat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, khususnya yang memiliki perhatian terhadap kesusastraan di kedua wilayah tersebut.
------------------
Nilai budaya, sifat manusia, dan informasi lainnya tergambar dalam kesusastraan daerah di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat ketika membaca ensiklopedia ini.
Jumlah entri yang termuat masih sedikit dari yang lengkap. Tetapi sebagai langkah awal yang telah dilakukan oleh saudara Suradi Yasil menyusun ensiklopedia ini patut disambut baik.
Pelajar dan masyarakat umum di daerah kita dianjurkan membaca dan merenungkan amanat atau pesan serta informasi lainnya yang disampaikan karya sastra-karya sastra masa lampau bangsa Indonesia, baik yang ada maupun yang tidak ada di dalam ensiklopedia ini.
Prof. Kadir Manyambeang
Guru Besar Fakultas Sastra dan Fakultas Pascasarjana Universitas Hasanuddin
***
Ketika kita membicarakan pengaruh kesusastraan asing dalam kesusasteraan Indonesia, kita harus melihat vista sastra Indonesia dari masa lalu hingga masa kini. Sebagai langkah awal, kita dapat melayangkan pandangan jauh ke belakang, ke masa Hamzah Fansuri mula bersyair dan bernazam atau ke zaman Nuruddin Ar-Raniry ketika melahirkan Bustanul Sallatin (Taman Raja-Raja) dan ketika Raja Ali Haji melahirkan Bustanul Katibin (Taman Para Penulis).
Hasil kesusastraan di zaman itu lebih sering disebut oleh sarjana sastra Indonesia-Melayu sebagai bagian dari sastra lama Indonesia dan dilanjutkan dengan sastra baru (modern) Indonesia yang dimulai sejak munculnya percetakan di Hindia Belanda dan diramaikan oleh kelompok Pujangga Baru. Meskipun demikian, patut diketahui bahwa sastra baru Indonesia pun sudah dipelopori oleh penulis Tionghoa peranakan yang mula pertama memperkenalkan cerpen dalam kesusastraan Indonesia modern.
Karya sastra Indonesia (Nusantara) lama itu sudah dimulai sejak abad ke-16 pada zaman Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniry, dan Syamsuddin Al-Sumatrani hingga periode para wali di Jawa yang banyak menghasilkan suluk sebagai pengaruh budaya Islam. Namun, di Jawa jauh sebelum Islam masuk pun sudah memiliki karya sastra kakawin yang mendapat pengaruh dari India.
Kesusastraan asing yang paling berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia lama adalah kesusastraan Arab dan Parsi (Persia). Jejaknya itu dapat kita baca pada naskah lama yang ditulis dalam aksara Arab Melayu dan tersebar luas hingga ke seluruh wilayah Nusantara. Karya sastra dari Arab dan Parsi itu banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu serta meninggalkan bentuk hikayat, syair, gazal, rubai, gurindam, masnawi, dan barzanzi dalam khazanah sastra Indonesia lama.
Sesudah berlalunya tradisi pernaskahan di Indonesia, pengarang Indonesia modern, yang dimulai oleh penulis Cina Peranakan, masih menulis syair dan pantun dalam karya cetak. Pada tahun 1912, misalnya, sudah mulai ditemukan cerita pendek yang awal dalam buku cerita Warna Sari yang terbit di Surabaya. Cerita pendek yang dimuat itu berjudul “Si Marinem” karya H.F.R. Kommer dan ditulis dalam ragam bahasa Melayu rendah (Sastri, 2012).
Pada masa Angkatan Pujangga Baru perkenalan para penulis dan pembaca karya sastra dengan karya sastra Eropa, khususnya Belanda, semakin mudah diperoleh, baik melalui buku pelajaran di sekolah maupun melalui karya saduran. Jika sebelumnya karya sastra asing, seperti Arab dan Parsi, diperoleh melalui hubungan perdagangan, karya sastra Eropa diperoleh melalui dunia pendidikan pada masa Hindia- Belanda.
Pada zaman Jepang, pengaruh kesusastraan asing, seperti Jepang, tidak terlalu banyak berarti dalam kesusastraan Indonesia. Hal itu disebabkan singkatnya masa pendudukan Jepang dan tidak adanya upaya penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa Indonesia pada saat itu. Penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa Indonesia dimulai pada tahun 1972 ketika Anas Ma’ruf menerjemahkan novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata ke dalam versi Indonesia dengan judul Negeri Salju (Pustaka Jaya, 1972).
Sesudah kemerdekaan, sekitar tahun 1960-an, pengaruh kesusastraan asing dalam karya sastra Indonesia lebih disebabkan pengaruh ideologi, seperti komunisme dari Uni Soviet. Hal itu dapat kita temukan pada karya para penulis Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang banyak menerjemahkan karya sastra Rusia yang beraliran kiri.
Diskusi