Pemilu 1955 di Sulawesi Selatan/Tenggara

Gambar Produk 1
Rp 264.500
Ukuran: 14 x 21 cm
Kertas Isi: BookPaper bw
Jumlah: 420 hlm
Sampul: ArtPaper 230 gr
Buku yang ditulis Idwar Anwar ini dipenuhi dengan sumber-sumber primer, dan sebagian besar menggunakan sumber-sumber berbahasa Belanda yang sangat mendukung bagi penelusuran peristiwa monumental dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan/Tenggara.

PEMILU 1955 merupakan pemilu yang dianggap paling demokratis dalam sejarah pemilu di Indonesia. Jika melihat dari jumlah peserta pemilu, mungkin tepat jika dikatakan demikian. Akan tetapi pemilu yang demokratis tentu tidak hanya dilihat dari satu sisi akan tetapi banyak hal yang menjadi indikator demokratis atau tidaknya sebuah pemilihan umum di sebuah negara berdaulat yang telah memilih sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahannya.

Di dalam buku ini, Idwar Anwar berkesimpulan bahwa pemilu 1955, khususnya di Sulawesi Selatan/Tenggara yang merupakan “zona merah” dalam pemilu 1955, sesungguhnya tidak dapat dikatakan berjalan demokratis. Cukup banyak kecurangan dan gangguan keamanan yang terjadi, khususnya akibat pemberontakan Kahar Muzakkar yang memang ingin menggagalkan pemilu 1955.

Untuk memperlihatkan kondisi pemilu 1955 di Sulawesi Selatan/Tenggara, Idwar menghamparkan fakta-fakta di lapangan, seperti pengrusakan alat peraga kampanye, intimidasi, kampanye hitam, kekerasan, bahkan pembunuhan yang terkait pemilu 1955 di Sulawesi Selatan/Tenggara.

Jika melihat catatan kaki dan daftar pustaka yang dirujuk, buku yang ditulis Idwar Anwar ini dipenuhi dengan sumber-sumber primer, dan sebagian besar menggunakan sumber-sumber berbahasa Belanda yang sangat mendukung bagi penelusuran peristiwa monumental dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan/Tenggara.

Oleh karena itu, Penerbit Pustaka Sawerigading sangat berterima-kasih kepada Idwar Anwar yang telah memberikan kepercayaan untuk menerbitkan buku ini. Penerbit berharap, keberadaan buku ini dapat menghadirkan pemikiran dan fakta-fakta baru dalam menelisik jejak pemilu 1955 di Sulawesi Selatan/Tenggara. Selamat membaca, semoga bermanfaat.

Penerbit

***

PENDAHULUAN

Memahami dinamika politik yang terjadi di Sulawesi Selatan pada Pemilu 1955 tidak terlepas dari dinamika politik yang terjadi di Jakarta sebagai pusat kekuasaan pemerintahan. Pertarungan ideologi antar partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 di tingkat pusat langsung atau tidak akan memberikan pengaruh di setiap wilayah Indonesia yang menjadi Daerah Pemilihan (Dapil) berdasarkan undang-undang. Hal ini sangat terkait dengan besarnya ambisi setiap partai untuk mendapatkan dukungan mayoritas masyarakat yang berimbas pada banyaknya kursi yang akan diperoleh di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante.

Pertarungan ideologi ini bukan hanya terjadi pada tataran ide atau di parlemen, namun pertarungan ideologi ini juga berimbas hingga ke masyarakat, pada terjadinya beberapa pemberontakan dan gerakan untuk menggagalkan pemilu 1955, khususnya di 3 Zona Merah dalam Pemilu 1955 yakni Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan. Pemberian label Zona Merah ini dikarenakan dalam proses menjelang dilaksanakannya pemilu terjadi pemberontakan DI/TII yang berpusat di 3 wilayah tersebut. Akan tetapi yang paling berat terjadi di Sulawesi Selatan. Banyak peristiwa kekerasan yang terjadi di wilayah ini dengan tujuan untuk menggagalkan pelaksanaan pemilu 1955.

Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang dilaksanakan secara nasional oleh bangsa Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pelaksanaan pemilu 1955 didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1953 (selanjutnya kadang dituliskan Undang-undang Pemilihan Umum atau Undang-undang Pemilu), tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Karena itu, pemilu tahun 1955 dilaksanakan dalam rangka memilih anggota-anggota parlemen (DPR) dan Konstituante yang merupakan sebuah lembaga yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi negara, khususnya untuk menyusun Undang-undang Dasar yang lebih komprehensif sebagai pengganti UUD Sementara 1950. Kendati berbeda dengan Maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 tentang Pembentukan Partai-partai Politik yang di dalamnya juga termaktub rencana pelaksanaan pemilu pada Januari 1946 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), namun setelah 10 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia, barulah pemilihan ini berhasil dilaksanakan secara nasional.

Keberadaan Konstituante sesungguhnya menjadi harapan bagi lahirnya Undang-undang Dasar yang berasal dari orang-orang yang telah dipilih oleh rakyat secara langsung pada Pemilu 1955. Hal ini sebab, Undang-undang Dasar yang pertama yang dimiliki Indonesia adalah UUD 1945, dibentuk dalam waktu yang singkat oleh sebuah badan yang diangkat oleh militer Jepang dan tidak dipilih oleh rakyat.

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) merupakan sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang pada 29 April 1945 yang bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Secara formil pembentukan BPUPKI ini baru diresmikan tanggal 28 Mei 1945 oleh Seiko Shikikan dan Gunseikan yang tertuang dalam pidato (Amanat) Seiko Shikikan dan Gunseikan.

Pada dasarnya, badan ini dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain, isi pidato keduanya sangat jelas terlihat adanya penekanan tentang keterlibatan Indonesia dalam perang Asia Timur Raya untuk membantu Jepang. Oleh karena itu, dalam pidatonya, Gunseikan menekankan agar bangsa Indonesia tidak sempit pandangannya dan hanya memikirkan kepentingan Indonesia saja . Sebagai negara yang baru saja merdeka, tentu saja Indonesia masih belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk melaksanakan pemilihan umum. Terlebih bangsa yang baru 10 tahun merdeka, saat dilaksanakannya pemilu pertama secara nasional dalam sejarah Indonesia ini, Indonesia tak memiliki pengalaman.

Sejak awal kemerdekaan, upaya bangsa Indonesia untuk membenahi berbagai infrastruktur pemerintahan untuk mewujudkan sebuah negara yang demokratis terus dilakukan, termasuk membentuk DPR dan MPR dengan melaksanakan Pemilu untuk memilih orang-orang yang akan menjadi anggota-anggotanya. Hal ini terlihat sekitar dua bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan, pemerintah berkeinginan mewujudkan keinginan tersebut dengan terlebih dahulu menjadikan Komite Nasional Pusat (KNP) atau biasa juga dikenal dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menjalankan kekuasaan legislatif DPR dan MPR.

Hal itu dapat dilihat dalam Maklumat X, “Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Madjelis Permusjawaratan Rakjat dan Dewan Perwakilan Rakjat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara, serta menjetudjui bahwa pekerdjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnja keadaan didjalankan oleh sebuah Badan Pekerdja jang dipilih diantara mereka dan jang bertanggung djawab kepada Komite Nasional Pusat.”

Dikeluarkannya maklumat ini berawal dari dibentuknya KNP pada sidang ketiga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 22 Agustus 1945, dan KNP mengusulkan kepada Presiden agar KNP diberikan hak legislatif selama DPR dan MPR belum terbentuk. Selain itu, KNP juga diberikan hak untuk ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pemerintah juga menyetujui keinginan KNP untuk membentuk Badan Pekerja KNP.

Untuk menghindari kesalahpahaman, isi maklumat tersebut diberikan lembaran tambahan yang berisi penjelasan yang dikeluarkan Badan Pekerja KNP dan ditandatangani Sutan Sjahrir selaku Ketua Badan Pekerja KNP dan ditulis oleh Soewandi. Dalam penjelasan terhadap maklumat tersebut dijelaskan bahwa menurut putusan dalam Maklumat Wakil Presiden No. X, maka Badan Pekerja berkewajiban dan berhak:

a. Turut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ini berarti, bahwa Badan Pekerja, bersama-sama dengan Presiden, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Namun Badan Pekerja tidak berhak ikut campur dalam kebijaksanaan (dagelijks beleid) Pemerintah sehari-hari. Ini tetap ditangan Presiden.

b. Menetapkan bersama-sama dengan Presiden Undang-undang yang boleh mengenai segala macam urusan Pemerintahan. Dan yang menjalankan Undang-undang ini ialah Pemerintah, berarti Presiden dibantu oleh Menteri-Menteri dan Pegawai-Pegawai yang berada di bawahnya.

Dalam penjelasan itu juga disebutkan bahwa dengan perubahan dalam kedudukan dan kewajiban Komite Nasional Pusat, mulai tanggal 17 Oktober 1945 Komite Nasional Pusat (dan atas nama Badan Pekerja) tidak berhak lagi mengurus hal-hal yang berkenaan dengan tindakan Pemerintahan (uitvoering). Adapun kewajiban dan kekuasaan Badan Pekerja tersebut berlaku selama Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat belum terbentuk dengan cara yang ditetapkan dalam Undang-undang Dasar.

Berdasarkan maklumat ini sangat jelas terlihat keinginan pemerintah untuk dapat menyelenggarakan Pemilu. Sekitar satu bulan kemudian pemerintah mempertegas keinginan untuk menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun 1946. Hal ini termaktub dalam Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik.

Dalam maklumat tentang Partai Politik itu, pemerintah menganjurkan untuk segera melakukan pembentukan partai-partai politik. Pemikiran untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mendirikan partai-partai politik dengan harapan bahwa partai-partai politik itu nantinya dapat membantu memperkuat perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat.

..........

ORDER VIA CHAT

Produk : Pemilu 1955 di Sulawesi Selatan/Tenggara

Harga :

https://www.pustakasawerigading.com/2022/10/pemilu-1955-di-sulawesi-selatantenggara.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi