La Galigo: Turunnya Manusia Pertama (Jilid 1)

Stok Habis
Gambar Produk 1
Rp 195.500
Ukuran: 12,5 x 20 cm
Kertas Isi: BookPaper bw
Jumlah: 320 hlm
Sampul: ArtPaper 230 gr
ISBN: 978-602-9248-08-1
Novel ini diangkat dari Kitab Galigo yang merupakan naskah kuno abad 14 (Memory of The World UNESCO 2011) dan merupakan epos terpanjang di dunia. Dalam novel jilid 1 ini bercerita mengenai awal mula turunnya manusia pertama di Ale Lino (Dunia) dalam pandangan masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya Luwu. Novel ini merupakan novel pertama yang diangkat dari Naskah Kuno Kitab Galigo yang rencananya sebanyak 12 jilid yang disesuaikan dengan jumlah pembagian naskah asli yang ada di Leiden (NBG Boeg. 188).

***

La Galigo merupakan sebuah kitab yang dianggap suci oleh masyarakat Bugis pada masa lampau. Bahkan kesakralannya hingga kini masih diyakini oleh sebagian masyarakat. La Galigo atau biasa juga disebut Sureq Selléang, Sureq Galigo, atau Bicaranna (Pau-Paunna) Sawérigading, menceritakan tentang awal mula diturunkannya manusia pertama (mula tau) dalam mitologi masyarakat Bugis, sepak-terjang manusia keturunan dewata di Alé Lino (Dunia Tengah), hingga berakhir saat ditutupnya pintu Langit. Dengan ditutupnya pintu langit, maka penghuni di Boting Langiq (Dunia Atas) dan Pérétiwi (Dunia Bawah) tidak leluasa lagi pulang pergi ke Alé Lino atau Kawaq.

Naskah Galigo ini pada awalnya merupakan tradisi lisan yang kemudian dituliskan. Dan dalam perjalanan waktu, naskah-naskah ini kemudian dikumpulkan oleh Retna Kencana, Colliq Pujié, Arung Pancana Toa, Mationroé ri Tucué atas permintaan Benjamin Frederik Matthes, seorang misionaris Belanda yang dikirim untuk menerjemahkan Bibel dalam bahasa Bugis dan Makassar. Naskah ini kemudian dibawa ke Belanda dan disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan kode Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) 188.

Dalam episode Turunnya Manusia Pertama ini, bercerita tentang awal mula diturunkannya manusia pertama, yakni putra penguasa langit, Patotoqé (Penentu Nasib) yang bernama La Togeq Langiq atau Batara Guru. Selain itu, diceritakan pula tentang diciptakannya tumbuhan, hewan, gunung-gunung dan hampir semua isi bumi…

“Tenangkan hatimu, anakku La Togeq Langiq.... Turunlah ke bumi dengan hati yang lapang. Bawalah taletting mperreq, siri atakka, telleq araso, wempong mani, wennoq rakkileq orang Léténg Nriuq, dan cacubanna dari Sawang Kuttu ini. Jika nanti engkau dalam perjalanan turun ke bumi, lemparkanlah taletting mperreq, agar menjadi tanah dan meluaskannya, mendirikan kampung, mengonggokkan gunung, menebar pebukitan, menghamparkan laut, menyematkan danau, melekukkan alur sungai, menggurat muara, dan menjuntaikan serasah dari balik-balik lembah, gunung dan bukit. Lemparkan pula siri atakka di sebelah kananmu dan telleq araso di sebelah kirimu. Itulah yang nantinya akan menjadi hutan belantara. Dan jika engkau sudah mendekat ke bumi, lemparkanlah wempong mani. Itulah yang akan menjadi ular dan margasatwa beraneka jenis. Dan jangan lupa untuk menaburkan bertih kilat Léténg Nriuq dan beras berwarna dari Sawang Kuttu. Sebab itulah yang akan menjadi burung-burung yang beraneka macam.”

Novel ini merupakan episode awal (Jilid 1) dari 12 Jilid naskah yang dikumpulkan Colliq Pujié (NBG 188). Naskah yang berjumlah 12 jilid ini mengandung + 300.000 bait syair yang menurut pengumpulnya diperkirakan baru sepertiga dari seluruh cerita. Jauh berbeda dengan epos India, Mahabarata atau Ramayana yang jumlah barisnya antara 160.000 dan 200.000.

Disadari bahwa La Galigo, sebagai sebuah naskah kuno, sampai saat ini memang masih lebih banyak dibaca oleh para peneliti maupun akademisi yang bergerak di bidang kebudayaan, khususnya Sulawesi Selatan (Bugis). Apalagi, dengan bentuk puisi prosa dan jalinan kisah yang berbelit-belit, membuat naskah ini menjadi cukup membosankan untuk dibaca, utamanya oleh kalangan remaja.

Karenanya, berbagai upaya terus dilakukan untuk lebih memperkenalkan dan mendekatkan warisan sastra dunia ini kepada masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah dengan membuat Epos La Galigo ini dalam bentuk novel, seperti yang ada di tengah pembaca saat ini.

Penulisan ulang dalam bentuk Novel yang dilakukan oleh Idwar Anwar ini merupakan hal yang pertama kali dilakukan, karenanya sangat patut dihargai. Apalagi bila mengingat bahwa naskah asli La Galigo ini, secara fisik (naskah asli tulisan Arung Pancana Toa), cukup sulit ditemukan. Keberadaan naskah ini lebih banyak ditemukan di luar negeri, utamanya Belanda. Cerita La Galigo dalam buku ini dikemas dengan gaya tutur yang ringan dan mengalir.

Meski telah dilakukan berbagai penambahan cerita, namun alur cerita masih tetap dipertahankan. Karakter tokoh juga semakin kuat. Dengan gaya penulisannya, Idwar Anwar mampu bermain di antara dua model pengungkapan/penulisan; klasik (gaya penulisan Lontaraq Galigo) dan populer. Inilah yang membuat cerita dalam buku ini lebih hidup dan berkarakter.

Dengan munculnya La Galigo dalam bentuk novel, diharapkan gairah masyarakat, utamanya kalangan remaja untuk lebih mengetahui warisan budayanya sendiri semakin bertambah. Buku ini merupakan jawaban dari kegelisahan masyarakat selama ini akan hilangnya roh masa lalu dari diri mereka.

Buku ini wajib dibaca, utamanya bagi mereka yang ingin lebih mengenal masyarakat Sulawesi Selatan pada masa lampau, baik mengenai kehidupannya, maupun pemahamannya tentang dunia makro dan mikrokosmos.

Semoga buku ini bermanfaat.

PENERBIT

***

Bab I
(Turunnya Batara Guru ke Alé Lino)

Di Boting Langiq , matahari baru saja merekah. Senrijawa mulai benderang. Sinarnya pun memendar di Rualletté, di istana Sao Kuta Pareppaqé , tempat Patotoqé bertahta. Saat cahaya pagi yang masih muda itu memendar, penguasa Boting Langiq itu bangun. Dikuakkannya kelambu keemasan yang berbalut sinar petir. Perlahan ia membuka kunci bilik guntur, lalu beranjak meninggalkan biliknya yang benderang.

Masih berselimutkan sarung yang tepinya bersuji benang cahaya petir, ia terus mengayungkan langkahnya yang masih gontai. Dilangkahinya sekat guruh, lalu perlahan menyeruak pintu halilintar dan berjongkok di bangku kilat.

Sambil bersimpuh pada bantal seroja tanra tellu , Patotoqé membasuh wajahnya pada mangkuk kilat. Kesegaran mulai nampak memendar di wajahnya yang terlihat pula dari pantulan cermin kemilau di hadapannya. Tempat sirih keemasan persembahan orang Senrijawa yang tergeletak tak jauh dari cermin diraihnya. Ia pun menyirih menenangkan perasaan.

Sembari menikmati sirih, Patotoqé perlahan berpaling ke jendela karena mendengar suara bising di luar. Dengan cepat ia menegakkan tubuhnya dan beranjak menuju jendela, membukanya perlahan. Pandangannya menyeruak ke halaman istana. Di bawah pohon asam tanra tellu nampak La Tau Pancéq dan La Tau Buleng sedang latihan perang-perangan.

Pandangannya terus menjelajah mencari para penjaga ayam utamanya. Namun tak satu pun yang tampak. Merasa penasaran, sebab tak seperti biasanya, Patotoqé bergegas bangkit diikuti beberapa orang yang bertugas membawa cerana guntur tempat sirihnya. Demikian pula pengusung ketur peludahan petir, tempat membuang sepah sirihnya dan penjinjing cerek halilintar tempat air minumnya. Patotoqé melangkah menuju pohon asam tanra tellu, lalu berdiri di gelanggang halilintar tempat ratusan penjaga ayamnya berkumpul.

Tatapannya yang teduh, namun penuh wibawa berlompatan dari satu wajah yang cemas ke wajah lain. Setelah terdiam sejenak, Patotoqé dengan lembut, berkata:

“Mengapa Rukelleng Mpoba, Ruma Makompong, Sangiang Mpajung, dan Balasanriuq tak menampakkan wajahnya di bawah pohon asam ini? Bukankah ia kuperintahkan untuk menjaga ayam kesayanganku?”

Dengan muka cemas dan suara bergetar, seorang di antara mereka berusaha menjawab. Seraya sujud menyembah, kalimatnya mengalir perlahan terputus-putus akibat rasa takut yang menggerayanginya:

“Duhai To Palanroé , kutadahkan kedua tapak tanganku memohon berkahmu. Tenggorokanku hanya setipis kulit bawang, sehingga begitu mudah tergelincir pada kebohongan. Semoga hamba tak terkutuk menjawab pertanyaan Puang . Sudah tiga hari tiga malam, Rukkeleng Mpoba bersaudara tak nampak di Boting Langiq. Kami tak tahu ke mana mereka pergi....”

Belum selesai ucapan penjaga ayam tersebut, dari arah selatan, Rukkelleng Mpoba, Sangiang Mpajung, Ruma Makompong, Balasanriuq, muncul. Wajah Patotoqé yang sedari tadi berusaha tenang, kini mulai berubah. Di wajahnya sedikit demi sedikit membujur guratan ketidaksenangan hatinya memandang kedatangan Rukkelleng Mpoba bersaudara.

“Dari mana saja kalian? Sudah tiga hari tiga malam lamanya tak menampakkan diri di Boting Langiq. Mengapa anak-anak ini kalian tinggalkan untuk menjaga ayam kesayanganku. Bukankah sudah kukatakan, tak ada lagi yang perlu kalian cari di Boting Langiq ini, sebab semuanya telah kuberikan. Tapi kenapa kalian masih saja lalai menjaga ayam andalanku,” tanya Patotoqé dengan suara tersendat-sendat karena menahan marah saat keempatnya bersimpuh di hadapannya.

Rukelleng Mpoba, Ruma Makompong, Sangiang Mpajung, dan Balasanriuq kian resah. Rasa takut menggelayut jelas di wajahnya. Keempatnya pun kembali bersujud.

“Ampuni kami. Laksana kulit bawang tenggorokan ini, semoga ucapan kami tidak menimbulkan kebohongan dan tak terkutuk jika kami menjawab pertanyaan Puang. Kami baru saja datang dari kolong langit, di tepi Pérétiwi. Di sana kami menurunkan badai, mengadu petir, memperlagakan guntur, menyabung kilat, dan menyalakan api dewata. Namun, tak ada sama sekali yang menyeru kepada Batara, atau menadahkan tangan ke Pérétiwi. Karena itu, mungkin sebaiknya Puang menurunkan seorang keturunan untuk mengisi Alé Lino agar dunia tidak kosong dan permukaan bumi jadi ramai dan benderang,” jawab Ruma Makompong yang diiyakan ketiga saudaranya.

“Ampun Puang,” sahut Ruma Makompong menambahkan, “Selama tak ada mahluk di kolong langit, di permukaan Pérétiwi, yang menyeru kepada Batara, engkau bukanlah dewata.”

Mendengar ucapan Ruma Makompong, Patotoqé tak menjawab sepatah kata pun. Ia terdiam sejenak. Desah nafasnya membadai menyeruak kebisuan pagi yang tiba-tiba saja kembali menjelma. Melihat penguasa Boting Langiq itu terdiam, Ruma Makompong bersaudara kembali menyembah, hingga membuat Patotoqé tergeragap. Ia lalu berpaling sembari berkata:

“Baiklah. Namun untuk memutuskan hal tersebut, aku harus ke istana Sao Kuta Pareppaqé dulu untuk menyampaikan kepada Datu Palingéq. Atas izinnya, barulah boleh ditempatkan keturunan dewata di kolong langit.”

Perlahan Patotoqé melangkah diiringi oleh raja dari Wawo Langiq, diramaikan pula bangsawan tinggi dari Coppoq Meru. Ditapakinya tangga halilintar seraya berpegang pada susuran kemilau. Langkahnya ringan melangkahi ambang pintu dari petir, menyusuri lantai kemilau, dan masuk melalui sekat tengah dari kilat.

Setelah melewati dua ratus lima puluh petak istana Sao Kuta Pareppaqé dan melangkahi pintu agung kilat, sampailah Patotoqé di ruang tengah. Ia kemudian duduk di atas pelaminan yang berkilauan.

Perlahan I Da Sarellung mendekat dan membuka keris halilintar yang telah menyatu dengan jiwa Patotoqé. Ditanggalkan pula ikat kepala cahaya petir hiasan Patotoqé oleh Wé Ati Langiq. Beberapa saat kemudian datang pula Telaga Unruq menyajikan sirih orang Senrijawa di talang petir.

Usai meraih sirih dan menyirih menenangkan perasaan, Patotoqé berpaling kepada Datu Palingéq yang duduk di sampingnya. Ia menarik nafas sejenak sebelum mulai berucap.

“Duhai dinda Datu Palingéq, sejak dulu aku berkeinginan untuk menurunkan tunas di Alé Lino. Dan keinginan itu semakin menguat setelah mendapat berita dari Rukkelleng Mpoba bersaudara yang baru saja turun ke bumi....”

Sejenak Patotoqé terdiam, lalu menarik nafas panjang. Datu Palingéq hanya menatapnya. Gejolak batinnya kian gemuruh. Ia pun sebenarnya berkeinginan untuk menurunkan tunasnya di muka bumi sebagai pelanjut. Namun, ia merasa akan begitu sulit menerima perpisahan dengan belahan jiwanya.

..........

ORDER VIA CHAT

Produk : La Galigo: Turunnya Manusia Pertama (Jilid 1)

Harga :

https://www.pustakasawerigading.com/2022/10/la-galigo-turunnya-manusia-pertama-jilid-1.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi