Merah di Langit Istana Luwu

Gambar Produk 1
Rp 178.250
Ukuran: 13,5 x 20 cm
Kertas Isi: BookPaper bw
Jumlah: 268 hlm
Sampul: ArtPaper 230 gr
PUJI dan syukur patut kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas keridhaannyalah, maka novel berjudul Merah di Langit Istana Luwu ini dapat terbit dan kini berada di tangan pembaca.

Novel yang berlatar peristiwa heroik rakyat Luwu, 23 Januari 1946 ini merupakan sebuah langkah kreatif dalam memperkenalkan peristiwa tersebut kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Buku ini merupakan buku pertama yang khusus menyajikan peristiwa 23 Januari 1946 dalam bentuk novel.

Idwar Anwar yang menulis novel ini memang bukan nama baru dalam dunia sastra, selain menulis buku-buku sejarah dan kebudayaan, khususnya tentang Luwu, Idwar juga dikenal sebagai novelis, esseis, cerpenis, dan penyair yang namanya bisa kita temukan di buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia yang pada Obrober 2017 diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia.

Peristiwa 23 Januari 1946 yang menjadi latar dari novel ini bukanlah sebuah peristiwa biasa, namun sebuah momentum berharga yang menjadi titik Kebangkitan Rakyat Luwu salam mempertehankan kemerdekaan. Sebuah mementum yang lahir dari semangat sosial-religius-kultural.

Oleh karena itu, saya sangat mendukung upaya penerbitan buku ini dan berharap buku yang mengangkat mengenai peristiwa perlawanan rakyat Luwu 23 Januari 1946 seperti ini dapat diapresiasi oleh berbagai kalangan, khususnya pemerintah se-Tana Luwu. Dengan demikian penerbitan dan penyebaran naskah semacam ini dapat terus digalakkan untuk menambah referensi dan minat untuk membaca tentang sejarah dan kebudayaan Luwu.

Semoga penerbitan buku ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya generasi muda Tana Luwu. Amin.

Jakarta, Mei 2017

Datu/Raja Luwu XL
H. Andi Maradang Mackulau, SH Opu To Bau

***

Berita Gembira Sang Presiden

16 Agustus 1945

Gadis itu menatap ke langit malam yang dipenuhi bintang, seolah berkerlap-kerlip penuh keceriaan. Sorot matanya lembut seakan ingin menjelajah di seluruh permukaan langit. Matanya indah, bagai telaga yang menyejukkan hati. Tak ingin berkedip, matanya terus saja berlompatan dari satu bintang ke bintang yang lain, hingga ia melihat sesuatu yang sangat jarang dijumpainya di atas sana. Satu bintang jatuh, turun ke bumi, kemudian seberkas sinar cahaya itu pun lenyap seketika.

Ia terperanjat. Ada debar di jantungnya yang seketika menggelisahkannya. Kala itu ia tengah duduk-duduk di kursi kayu bersama seorang temannya, selepas menjalani kegiatan mengajar anak-anak sekolah dan malamnya mengajari anak-anak perempuan menenun kain. Biasanya juga ia mengajarkan anak-anak mengaji.

Sejak Jepang menginjakkan kakinya di Palopo selama beberapa tahun, situasi kian memburuk. Janji Jepang sebagai Saudara Tua1 yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda ternyata hanya propaganda belaka. Itu dilakukan hanya untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Sejak penjajahan Jepang itu pula, penderitaan rakyat kian bertambah. Kekerasan hampir setiap hari terlihat. Sebagian besar pula akibatnya pada anak-anak yang tidak bisa sekolah dengan tenang.

”Maryam, kamu kenapa? Kok, dari tadi ngeliat atas terus?” tanya salah seorang temannya bernama Dewi yang sedari tadi duduk di samping Maryam sambil menjahit kain dengan tangannya.

“Ah, itu, aku tadi…, kamu liat nggak? Itu?!””Maryam yang memiliki nama lengkap, Sitti Maryam, mengarahkan jari telunjuknya ke atas. Berharap temannya yang satu itu ikut melihat.

“Itu, loh! Di atas sana tadi, ada bintang jatuh.”

“Aku nggakliat apa-apa, Maryam,” ucapnya dengan nada datar. Ia cuek saja dan terus menjahit kain.

”Ya sudah, mungkin memang aku saja yang dikasih liat sama Tuhan,””ucap Maryam senang sambil mengelus-elus dadanya. Tampa diduga-duga, gadis itu melihat penampakan bintang jatuh. Ia percaya betul pada sebuah mitos, bahwa jika melihat bintang jatuh, maka sebentar lagi akan ada kabar baik.

Maryam terdiam sejenak. Ia menarik nafas perlahan, lalu sesekali kembali menatap ke langit.

“Memang kenapa kalau ada bintang jatuh,” tanya Dewi agak penasaran.

Pertanyaan Dewi membuat Maryam kembali bersemangat. “Aku percaya jika melihat bintang jatuh, maka sebentar lagi akan ada kabar baik. Bagaimana menurutmu?” Suaranya renyah, penuh semangat.

“Aku tidak percaya. Ya, paling-paling kamu hanya berharap kekasihmu datang, kan?” jawab Dewi yang terus saja sibuk dengan jahitanya sambil sesekali melirik ke arah Maryam.

Mendengar itu, Maryam tertunduk lesu, “Apa dia akan datang setelah aku berdoa?”
“Mungkin saja. Sama kayak kau percaya sama bintang jatuh tadi,” ujar Dewi dengan mimik serius.

”Kepercayaanku pada bintang jatuh bukan berarti aku berharap ia akan pulang. Tapi aku berharap ia selamat dari intaian prajurit Jepang.”

Dewi hanya tersenyum. “Kau ngeledek, ya?”

“Tidaklah. Aku hanya berusaha merasakan betapa besarnya cintamu pada Rajab.”

“Mulai lagi deh…?

“Aku serius, Maryam. Cinta kalian sepertinya begitu mendalam. Kalian rasanya sangat sulit dipisahkan, kecuali oleh maut.”

Maryam tertunduk, lalu dengan cepat kembali mampu menguasai dirinya. “Ah, sudahlah. Tidak usah membicarakan hal itu. Kita cari topik yang lain saja.”

Dewi kembali tersenyum, hampir tak terlihat oleh Maryam. Dengan sigap Maryam mencubit pinggangnya. “Aduh!”

Keduanya tertawa lepas, lalu kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing.

“Kapan bangsa Indonesia ini merdeka ya, Maryam?””tanya Dewi dengan wajah serius. Kali ini ia menatap wajah Maryam dalam-dalam.

Maryam yang mendapat pertanyaan dan tatapan serius seperti itu tergeragap. Sejenak ia terdiam. “Aku juga bingung. Jepang semakin berkuasa dan bertindak sewenang-wenang. Mereka sangat kejam. Sepertinya mereka lebih kejam dari Belanda. Tapi apapun itu, mereka semua penjajah yang harus diusir dari bumi pertiwi.”

“Betul. Apabila mereka berhasil mengalahkan Belanda, tentu saja mereka lebih hebat dari Belanda. Mungkin saja persenjataan mereka lebih canggih,” timpal Dewi.

“Entahlah, aku juga tidak begitu paham. Tapi sepertinya ucapanmu betul.”

“Ah! Aduh!” Ujung jari Dewi tiba-tiba tertusuk jarum. Ia merintih sakit dan lekas memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut, menghisapnya untuk menghentikan pendarahan.

“Kau kenapa?” tanya Maryam kaget dan cepat-cepat menoleh menatap wajah temannya yang merintih kesakitan.

“Tanganku tertusuk jarum.”

“Kenapa tiba-tiba kau bisa tertusuk jarum? Aku tahu… Itu karena kau berdosa padaku.”

“Enak saja. Aku kan cuma bercanda.”

Namun tiba-tiba sepasang alis Maryam mengerut seolah menyatu.

“Jangan-jangan ini pertanda sesuatu akan terjadi,””seloroh Maryam. Keduanya saling bertatapan dengan mimik penuh rasa penasaran.

“Jangan-jangan…. Tapi apa ya?” sahut Dewi. Maryam hanya terdiam. Ia kembali berbalik, menengadah menatap ke langit malam yang kian kelam. Sebagian besar bintang-bintang bersembunyi di balik awan. Namun tak ada tanda hujan akan turun. Maryam meletakkan telapak tangannya di depan dadanya sambil berdoa dan memejamkan mata.

Aku berharap yang datang adalah kabar baik, Aku berharap yang datang adalah kebebasan.

..........

ORDER VIA CHAT

Produk : Merah di Langit Istana Luwu

Harga :

https://www.pustakasawerigading.com/2022/10/merah-di-langit-istana-luwu.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi