Risalah Cinta (Novel Etnografi)

Gambar Produk 1 Gambar Produk 2
Rp 264.500
Ukuran: 13,5 x 20 cm
Kertas Isi: BookPaper bw
Jumlah: 430 hlm
Sampul: ArtPaper 230 gr
ISBN: 978-602-9248-48-7
Kisah Cinta yang Menggetarkan dan Perjalanan Hidup yang Tak Terperikan. Sebuah novel yang inspiratif dan menggugah kemanusiaan kita.

***

Novel ini sesungguhnya novel etnografi yang dibungkus dengan perjalanan tokoh mengarungi kerasnya kehidupan, termasuk perjalanan cintanya yang penuh liku. Sebagai novel etnografi, kita bisa menemukan bagaimana kehidupan masyarakat Luwu atau Sulawesi Selatan pada umumnya.

Idwar, misalnya, mengurai dengan baik bagaimana pengetahuan masyarakat Sulawesi Selatan tentang ilmu perbintangan yang biasa digunakan saat ingin memulai aktivitas sehari-hari seperti melaut atau pun berkebun. Novel ini juga mengadirkan pengetahuan tentang perahu dan bagian-bagiannya, pengetahuan hari baik-buruk (kutika), ritual membangun rumah, sastra bahkan tentang mantra-mantra masyarakat Sulawesi Selatan.

Tentu saja ini merupakan novel etnografi pertama yang menghadirkan atau mendeskripsikan pelukisan kehidupan dan kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup di Sulawesi Selatan dengan cukup baik. Banyak pengetahuan kebudayaan tentang Sulawesi Selatan, khususnya Luwu yang terhampar di seluruh novel ini.

***

“Iya. Begitulah para nelayan kita dahulu dalam menentukan waktu untuk melaut. Misalnya, hari-hari yang dianggap paling baik untuk berlayar atau menangkap ikan berdasarkan peredaran bulan atau perhitungan bilang telluppuloé adalah ésso annyarang, ésso meong, ésso tedong, ésso singa, ésso bila, ésso latang, ésso siso’I, ésso uttai, ésso sai, ésso ulaweng dan ésso bangi. Selain dari hari-hari tersebut, dianggap kurang baik bahkan bisa mendatangkan bencana. Dalam perhitungan selanjutnya, hari yang dianggap baik harus juga dicocokkan dengan perhitungan pattaungeng.”

“Nah, jika berdasarkan perhitungan pattaungeng, waktu yang paling baik untuk memulai kegiatan berlayar atau menangkap ikan adalah pada Taung Alepu atau tahun Alif dan Taung Ha atau tahun Hamzah. Pada tahun ini, para saudagar akan memperoleh keuntungan yang melimpah. Taung Zet atau Tahun Zet juga dianggap baik untuk memulai kegiatan melaut, karena suhu udara tidak terlalu tinggi, begitu pula dengan air pasang. Tahun yang dianggap paling buruk untuk memulai kegiatan melaut adalah pada Taung Jing atau Tahun Jin, karena pada tahun ini, para saudagar banyak mengalami kerugian. Pada Taung Daleng ri Oloi’ atau Tahun Dal Awal, curah hujan sangat rendah, sehingga tidak menjadi penghalang dalam pelayaran dan menangkap ikan. Tetapi para pedagang tidak semuanya bisa mendapat keuntungan. Pada Taung Bai atau Tahun Ba, curah hujan tidak terlalu tinggi dan tidak juga terlalu rendah. Angin juga tidak bertiup kencang, sehingga tidak menghalangi para nelayan untuk melakukan kegiatan pelayaran atau menangkap ikan. Begitu juga pada Taung Daleng ri Munri atau Tahun Dal Akhir, keadaannya sama dengan Taung Bai, sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan pelayaran atau menangkap ikan.”

***

Permadani Tana Luwu

Biasanya, Kota Palopo, ibukota terakhir bekas Kerajaan Luwu ini, dalam musim kemarau tak pernah menampakkan kegersangannya. Sering kali hujan datang tiba-tiba di saat beberapa daerah lain dilanda kekeringan. Di kota ini antara musim hujan dan kemarau seperti tak jauh berbeda. Hujan kadang datang menderai mengguyur kota membasahi dedaunan dan atap-atap rumah yang telah banyak berganti dari atap rumbia menjadi atap seng atau beberapa juga menggunakan genteng.

Pohon-pohon di kota ini juga nampak tak menunjukkan kekeringan yang luar biasa. Di pinggiran kota, utamanya di kaki-kaki gunung, pohon-pohon durian, langsat, rambutan atau mangga malah mulai memunculkan bunga dan bahkan beberapa diantaranya ada yang telah berubah menjadi buah yang utuh meski masih kecil. Jika hal ini terjadi, para paddare’ atau pabbela’, begitu biasa orang Luwu menyebut para peladang, merasakan kegembiraan yang luar biasa. Itu berarti buah tanaman mereka dapat diharapkan akan tumbuh hingga menghasilkan buah yang besar-besar. Mereka hanya berharap hujan turun dengan perlahan dan angin tidak datang dengan kencang, sehingga bunga tanaman mereka, khususnya durian, tidak berguguran sebelum menjadi buah yang utuh.

Biasanya di bulan September daerah ini mulai sering-sering diguyur hujan. Bagi masyarakat hujan ini akan semakin membuat buah durian mereka berkembang dengan baik. Dan itu berarti masyarakat Luwu akan mendapatkan panen durian yang melimpah.

Durian, sama dengan sagu, bagi masyarakat Luwu begitu identik. Luwu memang merupakan daerah penghasil durian terbaik, khususnya di Sulawesi Selatan. Produksi durian dari daerah ini sangat melimpah. Namun kadang karena cuaca yang tidak bersahabat menyebabkan banyak pohon durian yang tidak berbuah atau buahnya tidak tumbuh dengan baik. Dalam situasi seperti itu, durian sangat jarang ditemukan di Luwu dan tentu saja harga durian akan sangat mahal.

Sering kali panen durian di seluruh daerah Luwu terjadi hampir bersamaan dan sangat melimpah. Saat itu, harga durian akan sangat murah. Kadang pula musim durian di daerah ini cukup panjang, bahkan hampir satu tahun berlangsung. Ini disebabkan panen durian di beberapa wilayah Luwu terjadi tidak bersamaan, sehingga terkesan bersambung antara wilayah dengan wilayah lain.

Pada musim durian, utamanya menjelang panen, masyarakat mulai membuat rumah-rumah kecil di dekat pohon durian. Orang Luwu biasa menyebutnya lantang-lantang, bola-bola, enda’, dan beberapa istilah lainnya.

Rumah-rumah itu dijadikan sebagai tempat istirahat untuk menunggu durian jatuh dari pohon. Bahkan biasanya paddare’ banyak beraktifitas di rumah-rumah itu sepanjang musim panen tiba. Buah durian yang jatuh sendiri dari pohon, katanya rasanya lebih enak.

Dengan tanah subur yang terbentang luas sepanjang kurang lebih 500 kilometer dari Selatan ke Utara jazirah Sulawesi Selatan membuat Tana Luwu sejak dahulu menjadi pusat pertanian. Bahkan karena kesuburannya, masyarakat Luwu menyebut daerahnya wanua mappatuo naewai alena, atau terjemahan sederhananya, ‘daerah yang mampu menghidupi dan mampu menolong dirinya sendiri’. Sebuah negeri yang mandiri, khususnya dari segi pangan.

Daerah ini memang sepertinya diciptakan Tuhan dengan taburan berbagai kekayaan alam. Berbagai jenis tanaman dapat tumbuh subur di daerah ini. Bermacam hasil tambang juga menjadi sumber kehidupan masyarakat Luwu sejak dulu.

Luwu, Lu’ atau biasa juga disebut dalam naskah-nahkah Belanda dengan sebutan Luhu (Loehoe) merupakan wilayah yang sangat berpengaruh dan merupakan kerajaan tertua, khususnya di Sulawesi Selatan pada masa-masa awal munculnya kerajaan di jazirah Sulawesi. Luwu, Lu’ atau Luhu bermakna, ‘bumi’ atau ‘wilayah’. Masyarakat Luwu menyakini wilayahnya merupakan tanah yang ‘riulo’, yang berasal dari bahasa Luwu (Bugis Kuno), berarti ‘diulur’, lalu dihamparkan dan ditaburi dengan kekayaan alam yang melimpah dan menjadi satu daerah atau kerajaan pusaka ‘ongko’.

Keyakinan ini dapat saja bersumber dari epos Galigo, yang boleh jadi juga merupakan kitab kuno masyarakat Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya di masa lampau, di masa pra Islam. Kitab ini kemudian oleh sebagian ahli mengkategorikannya sebagai karya sastra terpanjang di dunia yang panjangnya kurang lebih sekitar 300.000 bait syair. Jika didasarkan pada alur ceritanya, jumlah ini pun diperkirakan baru sepertiga dari naskah aslinya. Namun dengan jumlah ini saja, sudah jauh lebih panjang dari Mahabarata dan Ramayana yang panjangnya sekitar 160.000-200.000 bait syair.

Dalam kitab ini menceritakan awal mula diturunkannya La Toge’ Langi’ yang diyakini sebagai manusia pertama dalam mitologi masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya Tana Luwu. Diceritakan, ketika La Toge’ Langi’ atau Batara Guru diturunkan melalui sebilah bambu ke bumi atau ‘ale ino’, ia menghamparkan berbagai hadiah yang diberikan oleh Patotoé, Sang Penentu Nasib.

Dalam pandangan masyarakat Tana Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya, dikenal konsep tentang pembagian dunia yakni Dunia Atas (Boting Langi’), Dunia Tengah (Ale Kawa’/Lino/Dunia) dan Dunia Bawah (Uri’ Liu’).

Diceritakan dalam perjalanan turun ke bumi, saat Batara Guru melemparkan taletting mperre’, itulah yang menjadi tanah dan diluaskan, mendirikan kampung, mengonggokkan gunung, menebar pebukitan, menghamparkan laut, meletakkan danau, menoreh binanga ‘teluk’, melekukkan alur sungai dan menjuntaikan serasah dari balik-balik lembah, gunung dan bukit. Siri atakka yang dilemparkan dari sebelah kanannya dan telle’ araso dari sebelah kirinya menjadi hutan. Dan ketika Batara Guru telah mendekat ke bumi, ia pun melemparkan wempong mani yang akan menjadi ular dan margasatwa beraneka jenis. Ia pun menaburkan bertih kilat Léténg Nriuq dan beras berwarna dari Sawang Kuttu yang akan menjadi aneka macam burung.

Daerah Luwu memang bagai hamparan permadani yang kaya raya, yang diumpamakan Luwu makkebettuangi punnai usoro, riebarai makkunrai, madeceng abatireng, madeceng ampe napatumaningi atau Luwu diumpamakan sebagai wanita yang baik asal usulnya, baik perangainya dan patuh serta berbakti. Masyarakat juga mengenal Tana Luwu sebagai tana rigella’ mai ri Luwu, lipu ri ongko ri Sabbangparu yang berarti Luwu adalah tanah yang dihampar, negeri pusaka di Sabbangparu.

........

ORDER VIA CHAT

Produk : Risalah Cinta (Novel Etnografi)

Harga :

https://www.pustakasawerigading.com/2022/10/risalah-cinta-novel-etnografi.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi