Kota Tuhan

Stok Habis
Gambar Produk 1
Rp 80.500
Ukuran: 12,5 x 19 cm
Kertas Isi: BookPaper bw
Jumlah: 120 hlm
Sampul: ArtPaper 230 gr
KOTA TUHAN

Tidak seperti kota-kota lainnya, di kota ini kutemukan diriku menjadi hijau. Lumut-lumut yang melekat bertumbuh menjadi nyanyian-nyanyian malaikat.

Di kota ini, aku bisa melihat matahari bermekaran. Kuntum-kuntumnya bergerak lembut membiaskan kehangatan. Aku bahkan dapat memetik matahari tanpa harus kurasakan panasnya yang menyengat, seperti di kota-kota lain.

Bulan di kota ini juga ternyata lebih indah dari yang pernah kubayangkan. Warnanya perak dengan tepinya sedikit jingga. Cahayanya lembut menerangi dengan selaksa kesejukan. Aromanya wangi menyemarakkan bunga-bunga bertangkai petir yang tumbuh di setiap pori-pori waktu.

Aku bahkan pernah menjadi bagian dari sinarnya. Kurasakan sebuah kesejukan yang teramat sangat mendekap seluruh kesadaranku. Sungguh, aku menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang selama ini tak pernah terbayangkan akan melingkupi diriku begitu cepat, hingga aku sendiri begitu sulit mempercayainya. Di kota ini aku ternyata bisa menjadi malaikat bahkan melebihi malaikat....

***

SANG MAUT

Pada mulanya adalah ketiadaan. Lalu hidup dan mati menjelmakan diri. Mati menjelma ketiadaan hidup; hidup menjelma ketiadaan mati. Angin berkesiur. Lalu diam. Bayangan pepohonan bergerak. Kemudian hening. Satu persatu retas dalam hitungan-Nya.

Dan… di bawah sepenggal langit yang tersisa. Di sana ada mati. Ada hidup. Tak ada keabadian. Maka satu persatu dedaunan gugur ke tanah. Burung-burung yang merentas langit kembali ke asalnya. Kefanaan adalah keniscayaan dunia.

Mati. Bagaimana mati bercerita tentang hidup. Ketika ketiadaan menanti di atas bumi. Adalah mengapa mati membuat tiadanya keniscayaan abadi. Mengapa mati menjadi sesuatu yang menakutkan?

Lalu, bagaimana ketika seorang kakek yang telah tua renta hanya tersenyum manakala malaikat maut datang dan mengajaknya berjalan-jalan di angkasa, menyingkap tirai-tirai langit yang selama hidupnya hanya dapat ditangkap dengan matanya yang ternyata juga fana. Mungkin mati berlalu tanpa kesan. Tak ada sepotong tangis. Tak ada kepedihan atau mungkin ketakutan.

“Siapa?”

“Aku. Malaikat maut.”

“Syukurlah. Akhirnya kamu datang juga.”

Dan ketika pertama malaikat maut mengetuk pintu, sang kakek berdiri membuka pintu dengan senyum tulus, lalu mempersilahkannya masuk dan duduk. Ia lantas bergegas ke belakang dan dengan tangan gemetar akibat ketuaan, datang membawa secangkir kopi dan sepiring singkong rebus yang masih mengepulkan asap.

Lantas, di manakah mati, ketika malaikat maut datang? Ia malah duduk kemudian hanya bercerita dan bercanda dengan sang kakek. Ia tertawa. Bahkan sang kakek sampai terpingkal-pingkal, terlebih saat menyaksikan Sang Maut tertawa.

Sang Maut bercerita. Bercerita tentang apa saja yang tak tertangkap oleh nalar orang tua renta itu. Dengan bahasa yang juga tak pernah dikenal sang kakek. Dengan suara yang juga tak pernah didengar dengan telinganya. Tapi, ia tahu, Sang Maut berkata jujur. Ia tahu, Sang Maut ingin mengajaknya pergi. Pergi ke tempat yang ia sendiri tak sanggup menjelaskannya dengan nalar kemanusiaannya yang hanya setitik air di lautan yang maha luas.

Sang Maut adalah tempat pertemuan. Dan mati bukanlah suatu peristiwa yang kejam. Ia hanya bagian dari sebuah rencana Maha Agung. Sang Maut terus bermain tanpa pernah merasa berdosa. Dan sang kakek adalah sebuah kerinduan yang menanti. Sang kakek adalah kepasrahan. Ia adalah kecintaan yang membuncah dan selalu menggelegar.

Pertemuan seorang kakek tua dan Sang Maut adalah kepastian. Kerinduannya selalu hadir. Ada yang tak mereka mengerti. Pertemuan mereka adalah awal retasnya kefanaan. Keduanya adalah sedikit dari cinta yang agung.

Maka, setelah berkemas. Sang kakek berjalan menghampiri Sang Maut. “Bagaimana…? Kita pergi sekarang?” ucap sang kakek sambil memegangi perutnya yang mules akibat tertawa.

Tapi Sang Maut kembali tertawa. “Sebentar lagi. Kau sangat lucu. Aku tak dapat menahan tawa. Aku senang bertemu denganmu.”

“Tapi ‘kan tugasmu untuk membawaku jalan-jalan? Membawaku meninggalkan tempat ini. Sebagai malaikat maut, engkau tak boleh lalai dalam melaksanakan tugas.”

“Iya, aku tahu. Tapi ini belum saatnya. Aku hanya datang menjengukmu.”

“Lalu kapan? Aku ingin sekali pergi ke tempat-tempat yang kau ceritakan tadi. Menurutku tempat itu sangat indah. Di dunia ini mana ada tempat semacam itu. Aku benar-benar ingin melihatnya. Menghirup bau bunga-bunganya yang pasti semerbak. Tak seperti semerbaknya aroma bunga-bunga di bumi tempatku mengais-ngais hidup ini.”

“Sabarlah.”

“Tapi kapan?

“Waktunya pasti akan tiba. Kamu juga nantinya akan terus berada di tempat itu. Kamu nikmati dululah pertemuan kita ini. Aku tahu kau sangat berbahagia dengan kedatanganku.”

Dan Sang Maut terus saja tertawa. Lelaki tua itu juga tak mau kalah. Tawanya semakin berderai menyembulkan gusinya yang sudah tak bergigi.

ORDER VIA CHAT

Produk : Kota Tuhan

Harga :

https://www.pustakasawerigading.com/2022/10/kota-tuhan.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi