La Galigo, Lahirnya Kembar Emas (Jilid 3)

Stok Habis
Gambar Produk 1
Rp 195.000
Ukuran: 12,5 x 20 cm
Kertas Isi: BookPaper bw
Jumlah: 314 hlm
Sampul: ArtPaper 230 gr
Cetakan I: 2013
Novel ini diangkat dari Kitab Galigo yang merupakan naskah kuno abad 14 (Memory of The World UNESCO 2011) dan merupakan epos terpanjang di dunia. Dalam novel jilid 1 ini bercerita mengenai awal mula turunnya manusia pertama di Ale Lino (Dunia) dalam pandangan masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya Luwu. Novel ini merupakan novel pertama yang diangkat dari Naskah Kuno Kitab Galigo yang rencananya sebanyak 12 jilid yang disesuaikan dengan jumlah pembagian naskah asli yang ada di Leiden (NBG Boeg. 188).

***

LA GALIGO merupakan sebuah kitab yang diang-gap suci oleh masyarakat Luwu pada masa lampau. Bahkan kesakralannya hingga kini masih diyakini oleh sebagian masyarakat. La Galigo atau biasa juga disebut Sureq Selléang, Sureq Galigo, atau Bicaranna (Pau-Paunna) Sawérigading, menceritakan tentang awal mula diturunkannya manusia pertama (mula tau) dalam mitologi masyarakat Luwu (Bugis Kuno), sepak-terjang manusia keturunan dewata di Alé Lino (Dunia Tengah), hingga berakhir saat ditutupnya pintu ke Langit. Dengan ditutupnya pintu langit, maka penghuni di Boting Langiq (Dunia Atas) dan Pérétiwi (Dunia Bawah) tidak leluasa lagi pulang pergi ke Alé Lino atau Kawaq.

Naskah Galigo ini yang telah bersebaran dan dianggap sebagai kitab sakral, khususnya di wilayah jazirah Sulawesi Selatan, kemudian dikumpulkan dan ditulis ulang (disalin) oleh Retna Kencana, Colliq Pujié, Arung Pancana Toa, Mationroé ri ri Tucué. Upaya ini dilakukan atas permintaan Benjamin Frederik Matthes, seorang misionaris Belanda yang dikirim untuk menerjemahkan Bibel dalam bahasa Bugis dan Makassar. Naskah ini kemudian dibawa ke Belanda dan disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan kode Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) 188.

Dalam episode Lahirnya Kembar Emas ini, bercerita tentang kelahiran Sawerigading dan We Tenriabeng. Keduanya kemudian dipisahkan dan tidak boleh saling bertemu, apalagi saling mengenal. Dalam episode ini juga diceritakan naiknya kembali Batara Guru ke Boting Langiq dan tidak dapat kembali lagi memerintah di dunia. Kekuasaannya kemudian diserahkan kepada anaknya, Batara Lattuq. Di sini juga diceritakan tentang pengembaraan Sawerigading di Boting Langiq, kisah cintanya yang tak kesampaian dengan Senrimawéro, hingga berbagai warisan yang diberikan Datu Patotoq, di antaranya dapat menghidupkan kembali orang yang sudah mati.

Novel ini merupakan episode ketiga (Jilid 3) dari 12 Jilid naskah yang dikumpulkan Colliq Pujié (NBG 188). Naskah yang berjumlah 12 jilid ini mengan-dung + 300.000 bait syair yang menurut pengum-pulnya diperkirakan baru sepertiga dari seluruh cerita. Jauh berbeda dengan epos India, Mahabarata atau Ramayana yang jumlah barisnya berkisar antara 160.000 dan 200.000. Disadari bahwa La Galigo, sebagai sebuah naskah kuno, sampai saat ini memang masih lebih banyak dibaca oleh para peneliti maupun akademisi yang bergerak di bidang kebudayaan, khususnya Sulawesi Selatan. Apalagi, dengan bentuk puisi prosa dan jalinan kisah dan tokoh yang berbelit-belit, membuat naskah ini menjadi sangat membosankan untuk dibaca, utamanya oleh kalangan remaja.

Karenanya, berbagai upaya terus dilakukan untuk lebih memperkenalkan dan mendekatkan warisan sastra dunia ini kepada masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah dengan membuat Epos La Galigo ini dalam bentuk novel, seperti yang ada di tengah pembaca saat ini.

Penulisan ulang dalam bentuk Novel yang dilakukan oleh Idwar Anwar ini merupakan sesuatu yang sangat patut dihargai. Apalagi bila mengingat bahwa naskah asli La Galigo ini, secara fisik (naskah asli tulisan Arung Pancana Toa), sangat sulit ditemukan. Keberadaan naskah ini lebih banyak ditemukan di luar negeri, utamanya Belanda.

Cerita La Galigo dalam buku ini dikemas dalam bahasa yang filosofis, namun dengan gaya tutur yang ringan dan mengalir. Meski telah dilakukan berbagai penambahan cerita, namun alur cerita masih tetap dipertahankan. Karakter tokoh juga semakin kuat. Dengan gaya penulisannya, Idwar Anwar mampu bermain di antara dua model pengungkapan; klasik (Luwu Kuno) dan populer. Inilah yang membuat cerita dalam buku ini lebih hidup dan berkarakter.

Dengan munculnya La Galigo dalam bentuk novel ini, diharapkan gairah masyarakat, utamanya kalangan remaja untuk lebih mengetahui warisan budayanya sendiri semakin bertambah. Buku ini merupakan jawaban dari kegelisahan masyarakat selama ini akan hilangnya roh masa lalu dari diri mereka.

Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada pemerintah daerah yang telah membantu penerbitan Novel ini. Buku ini wajib dibaca, utamanya bagi mereka yang ingin lebih mengenal masyarakat Sulawesi Selatan pada masa lampau, baik mengenai kehidupan, maupun pemahamannya tentang dunia makro dan mikrokosmos.

Semoga buku ini bermanfaat.

PENERBIT

***

Bab I
Lahirnya Kembar Emas


Wé Opu Sengngeng sedang mengidam keras. Wé Opu Sengngeng melahirkan. Dua anaknya. Itulah yang disebut kembar. Seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya lahir di dalam satu hari. Itulah yang dinamakan kembar emas. Yang laki-laki dinamai Sawérigading, itulah yang pertama lahir. Yang perempuan dinamai Wé Abeng, itulah yang dilahirkan terakhir.

Pada ayunan manurung dinaikkan Sawérigading. Dinaikkan di ayunan pada ruang tengah istana, Sawérigading. Adapun Wé Abeng dinaikkan pada ayunan yang muncul, dinaikkan pada ayunan pada ruangan dalam. Keduanya bersamaan dinaikkan di ayunan dalam sehari. Bersamaan naik ayunan semua sepupunya yang perempuan, sedang sepupu sekali yang laki-laki bersamaan dengan Sawérigading dinaikkan pada ayunan.

Setelah Sawérigading bersamaan dengan sepupu sekalinya naik di ayunan, dan I Abeng bersepupu sekali, diikutkanlah Wé Nyiliq Timoq naik ke langit. Dinaikkan semua istri-istri Manurung itu. Tidak kembali lagi ke dunia semua istri. Hanya Batara Lattuq saja yang tinggal di bumi. Saudara-saudaranya juga tidak ada yang ikut naik ke Boting Langiq. Ada seorang perempuan juga yang masih tinggal di bumi.

Tak lama setelah Manurung suami-istri naik ke Botinglangit’, Sawérigading mulai juga turun menginjak tanah. Diundang semua raja-raja di Boting Langiq. Raja-raja Toddang Toja juga diundang.

Sawérigading naik ke langit. Beriringan semua sepupu sekalinya. Setelah upacara menginjak tanah.

Kembalinya Sawérigading dari langit. Dia mengawini sepupu sekalinya yang bernama I Panangngareng.
-------------------------
dari bilik pelaminan
bulan runtuh dalam dekapan kekasih
dibuai angan
diperturutkan rayu-rayu
kekasih yang dilayari
putri pengisi pelaminan kemilau


Gelisah batin Wé Datu Sengngeng dalam belaian Batara Lattuq perlahan-lahan hilang. Perempuan itu larut dalam keheningan jiwa. Kepalanya yang direbahkan di pangkuan sang kekasih, seolah mendekam dalam pusaran keabadian cinta. Tangan Batara Lattuq yang terus saja mengusap perutnya yang sedang mengandung calon tunas pengisi istana Alé Luwu, dirasakan Wé Datu Sengngeng bagai belaian angin Déwata. Begitu lembut dan sejuk, melenakan.

Kehamilan Wé Datu Sengngeng memang sangat dinantikan penghuni istana Luwu. Sebab setelah sekian lama menikah, keduanya belum juga dikaruniai seorang anak pun. Kecemasan ini terutama melanda hati Batara Lattuq yang menginginkan tunas penerus di Ale Luwu. Bahkan untuk memenuhi hasrat itu, ayahnya, Batara Guru harus naik ke Boting Langiq meminta kepada Patotoqé agar Wé Datu Sengngeng segera diberikan keturunan. Demikian pula dengan ibunya, We Nyiliq Timoq, juga harus turun ke Pérétiwi menemui orang tuanya, Guru ri Selleq dan Sinauq Toja.

Tidak begitu lama Batara Guru turun dari Boting Langiq dan We Nyiliq Timoq muncul dari Pérétiwi, Wé Datu Sengngeng pun menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Putri Tompoq Tikkaq itu pun mengidam. Seluruh penghuni istana diliputi kebahagiaan. Berbagai keinginan Wé Datu Sengngeng pun dituruti untuk melenakan hasrat hatinya.

Batara Lattuq kemudian memerintahkan sepupunya, La Pangoriseng agar segera memerintahkan burung-burungnya untuk terbang mencari makanan yang diinginkan istrinya. Dengan sigap, La Pangoriseng bersama Daéng Samana berangkat membuka rantai kaki keemasan La Dunrung Séreng, Lé Puttéssolo orang Apung, Alo Biraja Mancapai, Béka’ Maloku orang Abang, Bulumenrawé orang Wadeng dan beraneka ragam burung lainnya.

Berterbangan semua burung-burung itu, lalu bertengger di depan naungan payung emas Batara Lattuq, penguasa Watang Mpareq. Batara Lattuq dengan lantang memerintah: “Terbanglah wahai La Dunrung Séreng, ambil semua buah-buahan yang diidamkan ratu tuanmu. Wahai Alo Biraja Mancapai, Matangkiluwu’ orang Wadeng, terbang pulalah engkau menuju ke Marangkabo, mengambil pauh-bajénggi di ujung lautan, mangga harum yang manis di pinggir langit di negeri Sri Paduka Talettussompa. Engkau Kakatua Maloku orang Abang pergilah mengambil bunga teratai yang berakar di Boting Langiq yang melekat di Toddang Toja berjumbai daunnya di Wawoémpeng. Engkau ambil juga bunga sokori di Marumame’, alakkang Jawa di Tessililu, jambu monyet di Marapettang, negerinya La Wajo Langiq.”

Batara Lattuq terus saja memerintahkan beraneka macam burung untuk terbang mengambil berbagai jenis makanan yang diidamkan istrinya. “Engkau wahai Puttéssolo orang Apung pergilah mengambil bunga palallo yang berjejer di sela-sela cahaya matahari. Ambil pula bunga mario di negeri La Raullangi’, bunga écawa yang ditanam di Sadawéro di perbatasan langit. Engkau Laiyoda terbanglah ke Pujananti, memetik langsat Makassar orang Wawolangi’, mangga harum di Ujungpéro, alakkang Jawa di Essililu. Engkau Baweng Runo terbanglah ke Taranati mengambil nangka harum di negeri Gima, ketapang Jawa di Sawammégga, limau kemilau, nangka harum, bunga palallo, yang tumbuh di Tessililu.”

Beterbanganlah berbagai jenis burung menjalankan perintah Batara Lattuq. Cakkuridi terbang menuju Tompoq Tikkaq, menjelajahi Sawammégga, di Singkiwéro, mengambil bunga melawé di negeri Wé Adiluwuq, istri I La Jiriu. Ia ditugaskan pula mengambil ketapang Jawa di Sawammégga, mangga muda di Singkiwéro.

Cui’-manike’ orang Saburo terbang pula ke Tessililu, mengambil mangga madu yang manis. Sedangkan Marempoba tebang menuju Wadeng mengambil nangka harum yang memagari istana besar yang ditempati Wé Samangkella Daéng Maliu. Adapun Bulumenrawé orang Wadeng, menuju ke Gima mengambil maja Jawa yang bertangkaikan batang kelewang yang berpelepah besi Jawa, berdaunkan daun cindai, berpucukkan sutra merah.

Arakkara Ulio juga terbang mengambil Sentul-patalo di Singkiwéro, jambu air di Panasumpu. Danga Cina orang Séreng bergegas melayang untuk mengambil langsat Makassar yang tumbuh di Sunra Timur. Merpati orang Wekkeng juga diperintahkan turun ke Toddang Toja mengambil hati nyamuk, dan limpa agas di Pérétiwi. Sedang La Seddaile’ Selayar terbang merantaui nangka besar yang manis di Mattoanging.

Tidak ketinggalan Garuda besar berangkat mengambil rusa berani berkepala dua, rusa jantan bertandukkan keris bergelombang yang berantai emas, berkalungkan emas kemilau di Boting Langiq. Sang Garuda juga pergi mengambil ikan berani di Taéallangi’. Burung-burung yang beraneka ragam itu juga pergi mengambil padi asana keemasan di Labuq Tikkaq.

Diperintahkan pula Massaimpung Dupasaraé, Lellang Paténge’, Bulumenrawé orang Wékkeng agar mengambil pauh bajénggi di Marapettang. Marempobaé terbang ke Kelling untuk mengambil ikan berani lalumé. La Wéddaije Waniaga berangkat utuk mengambil jeruk wérune’ di Malatunrung.

Batara Lattuq masih saja memerintah: “La Dunrung Séreng pergilah merantaui sarellumpoba di Senrijawa, tempat pusat batara. Engkau Burung elang pemberani yang tak berdusta, terbanglah merantaui rusa jantan di Bula. Rusa yang berombongan di langit yang bertandukkan keris berkalungkan rantai keemasan yang bersirip gergaji, berekorkan ular ménréli yang berbulu sutra tebal dan mencari makanan di Ujungpéro, minum air di Coppoq Méru, yang tainya menjadi dupa dan kencingnya menjadi minyak harum.”

Tak dapat menolak perintah Batara Lattuq, burung-burung yang beraneka ragam itu seperti terhipnotis. Lalu Batara Lattuq berkata dengan lantang dan sangat tegas, “Engkau wahai La Dunrung Séreng dan kalian semua burung, kuperintahkan kalian merantaui buah-buahan yang diingini ratu tuanmu. Terbanglah lebih cepat dari angin, dahului bayu, lampaui udara. Tetapi jika kalian lambat dari angin, dilampaui udara, didahului bayu, akan kupatahkan sayap kalian, terutama engkau La Dunrung Séreng. Akan kupatahkan pula kakimu, tetakmu akan lebih halus dari tepung. Begitu pula kerongkonganmu akan kupotong-potong.”

Mendengar ucapan Batara Lattuq, La Dunrung Séreng dan semua burung yang diperintahkan, gemetar. Mereka tak kuasa membatah,apalagi melawan perintah Batara Lattuq. Semuanya dengan sigap menjalankan perintah penguasa Watang Mpareq itu.

Batara Lattuq menengadah ke langit, “Terbanglah semua wahai burung-burung ke negeri yang engkau tuju. Bertebaranlah duhai burung-burung yang beraneka ragam. Terbanglah melampaui angin, berhembuslah mendahului bayu yang datang melalui sela-sela awan berlapis-lapis, seberangi lautan Dewata yang luas. Arungi keinginan ratu tuanmu yang mengidamkan semua yang kuperintahkan.”

Tiada sekejap mata burung-burung itu telah sampai di setiap negeri yang dituju dan mengambil berbagai jenis makanan yang diperintahkan. Teramat gembira burung-burung beraneka ragam itu memetik dan mematah-matahkan tangkai-tangkai pepohonan, mengambil buah-buahan yang diidamkan ratu tuannya.

ORDER VIA CHAT

Produk : La Galigo, Lahirnya Kembar Emas (Jilid 3)

Harga :

https://www.pustakasawerigading.com/2022/10/la-galigo-lahirnya-kembar-emas-jilid-3.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi