Muhdi Akbar: Model Toleransi Umat Beragama di Kabupaten Selayar

Gambar Produk 1
Rp 86.250
Ukuran: 14 x 20,5 cm
Kertas Isi: BookPaper bw
Jumlah: 146 hlm
Sampul: ArtPaper 230 gr
Muhdi Akbar dibubarkan pada tahun 1966 (berdiri sejak 1912 di Selayar), berdasarkan keputusan pemerintah yang menganggap sebagai aliran sesat. Namun para pengikut komunitas ini masih tetap bertahan, khususnya di Kampung Binanga Benteng. Meski demikian, para pengikut Muhdi Akbar diminta memilih untuk masuk ke dalam salah satu agama yang dianut masyarakat Selayar yakni Islam, Kristen dan belakangan muncul pula agama Hindu. Dalam perkembangannya, kendati adanya perbedaan agama yang terdapat dalam komunitas ini, bahkan dalam satu rumah tangga, namun tetap terjalin sikap toleransi yang baik diantara mereka.

Buku ini mengurai dengan cukup baik mengenai ajaran Muhdi Akbar yang ada di Kabupaten Kepulauan Selayar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hakikat dari ajaran aliran Muhdi Akbar adalah penyatuan diri dengan Tuhan. Terdapat kesamaan antara ajaran Islam dengan ajaran Muhdi Akbar, seperti menjaga hablun minannas, sedangkan ajaran Muhdi Akbar yang tidak sesuai dengan ajaran Islam adalah melepaskan diri dari tanggung jawab syariat. Masyarakat Muslim di Kabupaten Kepulauan Selayar pada awalnya terpengaruh dengan ajaran Muhdi Akbar, tetapi semakin lama pengaruhnya semakin berkurang, sehingga pengikut aliran Muhdi Akbar semakin berkurang.

Dalam pandangan Muhdi Akbar, manusia pada hakikatnya hidup di dunia untuk mencari dan mengenal Tuhan. Tetapi sebelum mengenal Tuhan, manusia harus terlebih dahulu mengenal dirinya sendiri. Sebagaimana yang biasa dikemukakan oleh penganutnya yaitu: “Boja kalengmu lalang batang kalengmu tonjuang. Boja tongi batang kalengmu lalang batang kalengmu tonjuang. Nasaba‟ ampa gelei muisse‟ kalengmu, gele tongi muisse‟ karaengmu intu” yang memiliki arti “cari dirimu di dalam tubuhmu sendiri. Cari tubuhmu di dalam tubuhmu sendiri. Sebab, jika kamu tidak mengenal dirimu, tidak akan kamu mengenal Tuhanmu.”

Beberapa ajaran Muhdi Akbar dituangkan dalam bentuk syair-syair. Ajaran ini biasanya disampaikan dalam majelis sebelum attauhid. Syair-syair ajaran Muhdi Akbar yaitu sebagai berikut:

1. “Sangga mannii ri itungku, niya‟ma ri minasangku, kugappa monni lebanga ri pa‟maikku.” Artinya: Sudah cukup caraku mengingat (Tuhan), telah kutemukan yang kucari, telah kutemukan yang sudah lama kuinginkan. Syair di atas menjelaskan tentang seorang hamba yang telah lama melakukan pencarian terhadap Tuhannya. Berbagai cara telah dilakukanuntuk menemukan Tuhan. Memperluas pengetahuan keagamaan dengan menuntut ilmu. Pada akhirnya pencariannya telah membuahkan hasil yaitu dengan jalan attauhid.

2. “Lebba‟ niya‟mi ri Makka, lalang ri Baitollaiya, tattappa tommi alusukku ri Madina.” Artinya: Jika sudah ada di Mekah, di dalam rumah Allah (Ka‟bah), sudah ada juga ruhku di Madinah.

Syair di atas menjelaskan bahwa dengan attauhid akan menyatukan kita dengan Allah swt. Ketika ruh kita menyatu dengan ruh Allah, dimana pun Allah berada di situ kita akan berada.

3. “Niya‟manni ri Madina, empoma satunggu-tunggu, inakke anak tassisa‟la‟ karaengku.” Artinya: Saya sudah ada di Madinah, saya duduk dengan benar, saya anak yang terpisah dengan Tuhanku.

Syair di atas menjalaskan bahwa mulanya manusia menganggap dirinya terpisah dengan Tuhan. Oleh karena itu, manusia perlu melakukan pencarian terhadap Tuhannya.

4. “Anne nakke ri imangku, jarreki pannaggalakku, manna numalo seheka tasinna tomma.” Artinya: Inilah saya dalam keyakinanku, telah kuat peganganku, walaupun lewat seorang ulama, saya sudah tidak berminat. Syair di atas menjelaskan bahwa ajaran Muhdi Akbar adalah pegangan yang kuat. Keyakinan terhadap Allah swt. dilakukan dengan jalan attauhid. Meskipun ulama besar datang memberikan ajaran agama, itu tidak lebih baik dari ajaran Muhdi Akbar.

5. “Sehe baji pangngassengku, angkana se‟re karaeng, makaruanna tummenanga ri barambanna.” Artinya: Ulama sudah kukenal dengan baik, katanya hanya ada satu Tuhan, yang kedua yaitu yang melakukan perenungan (tafakur).

Syair di atas menjelaskan bahwa pendapat ajaran Muhdi Akbar sama dengan para ulama yang menganggap Tuhan itu satu. Dan dalam ajaran Muhdi Akbar, untuk menemukan Yang Satu itu dilakukan dengan cara perenungan (tafakur)79 atau Attauhid. Bertafakur dengan membersihkan segala hal yang bersifat duniawi.

6. “Niya‟ bulaeng taccokko, niya‟ intang kalengukang, niya‟ karaeng nisomba takacinikang.” Artinya: ada emas yang tertutup, ada intan yang tersembunyi, ada Tuhan disembah yang tak terlihat.

Syair di atas menjelaskan bahwa Tuhan yang kita sembah itu benar-benar ada. Hilangkan keraguan terhadap keberadaannya. Tuhan yang kita sembah tidak terlihat oleh mata tetapi dapat ditemukan dengan attauhid.

7. “Tumbangpi bulu‟ ruaiya, sosara‟ baho karaeng, nakacinikang karaeng tu nisombaiya.” Artinya: Setelah hancur dua gunung, longsor Bawakaraeng, barulah terlihat Tuhan yang kita sembah.

Syair di atas menjelaskan bahwa untuk menemukan Tuhan, kita harus membersihkan diri dari segala urusan dunia. Dengan bertafakur kita akan menemukan Tuhan yang kita sembah.

8. “Punna sallang tallag lino, labu jojongmi dunia, keremi mae pa‟dongkokanna nyawaiya.” Artinya: Setelah tenggelam dunia, karam sudah dunia, kemana tumpangan nyawa kita.

Syair di atas menjelaskan bahwa alam ini pada akhirnya akan binasa. Ketika tubuh kita mati maka kita akan mempertanyakan kemana ruh kita akan pergi apakah di surga atau neraka.

9. “Boja bajiki tubunu, alle pigappa-gappai, niya‟ji antu ma‟lengu ri tubu Adam.” Artinya: Cari kembali tubuhmu, cari sampai dapat, itu pasti ada tersembunyi di tubuh Adam “jasmani”.

Syair di atas menjelaskan bahwa yang kita cari hakikatnya adalah ruh Tuhan. Ruh Tuhan tersembunyi dalam raga kita. Untuk menemukan-Nya, kita harus mencarinya dengan benar.

10. “Tubu teyako masimpung, rimassulu‟na nyawanu, katummoterang ri bori‟ simemanganna.” Artinya: Tubuh janganlah kamu merana, ketika nyawamu keluar, karena ia kembali ke kampung asalnya.

Syair di atas menjelaskan bahwa ketika kita meninggal, ruh kita akan kembali kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu kita harus mempersiapkan diri kita sebelum kembali kepada Sang Pencipta.

11. “Lanynya‟pintu ri pare‟na, lanynya‟pintu ri sipa‟na, napare‟tompi pa‟cini alang lompoa.” Artinya: Setelah hilang dari wujudnya, setelah hilang dari sifatnya, dan setelah dibuat penglihatan alam yang besar.

Syair di atas menjelaskan bahwa diri kita akan menyatu dengan Tuhan ketika diri kita telah terbebas dari segala urusan duniawi. Hal-hal yang bersifat dunia adalah penghalang diri kita dengan Tuhan.

12. “Lanynya‟pi alang lompoa, rusa‟pi alang ca‟diyya, kibattu mange ri alang lino berua.” Artinya: Setelah hilang alam yang besar, rusak alam yang kecil, barulah kita sampai di alam dunia yang baru.

Syair di atas menjelaskan bahwa di akhir zaman, seluruh makhluk ciptaan Allah swt. akan musnah. Setelahnya, kita akan ke alam yang baru yaitu di akhirat.

13. “Kere manynyomba nisomba? Kere lengu mallenguki? Kere nikana singara takalapakang?” Artinya: Siapa menyembah dan siapa yang disembah? Siapa yang dihalangi dan apa yang menghalangi? Siapa yang disebut cahaya tanpa penghalang?

Syair di atas bermaksud membuka nalar kita dimana mempertanyakan hakikat Zat yang kita sembah. Cahaya tanpa penghalang yang dimaksud ialah Allah swt. Tetapi Allah swt. tidak akan mudah ditemukan karena terhalang oleh urusan-urusan duniawi dan hal-hal buruk lainnya. Untuk menemukan Tuhan, hati kita harus dibersihkan dari segala keburukan dunia.

14. “Ia manynyomba nisomba, ia lengu mallenguki, ia nikana singara takalapakang.” Artinya: Dia yang menyembah disembah, dia yang dihalangi menghalangi, dia yang disebut cahaya tanpa penghalang........ dst.

Selamat membaca!!!

ORDER VIA CHAT

Produk : Muhdi Akbar: Model Toleransi Umat Beragama di Kabupaten Selayar

Harga :

https://www.pustakasawerigading.com/2022/10/muhdi-akbar.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi