Onderafdeeling Maros, Konfigurasi Elite dan Kontestasi Kekuasaan 1900-1946

Gambar Produk 1
Rp 80.000
Ukuran: 14 x 20,5 cm
Kertas Isi: BookPaper bw
Jumlah: 115 hlm
Sampul: ArtPaper 230 gr
Buku tentang keberadaan Maros pada massa lalu, terlebih kajian khusus tentang bagaimana konfigurasi elite dan kontestasi kekuasaan antara tahun 1900-1946 memang diakui masih sangat kurang.

Kondisi tersebut dapat dimaklumi, karena ada beberapa sebab antara lain; mengingat secara geografis, Maros sangat berdekatkan dengan Makassar yang merupakan pusat kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo yang sejak dahulu menjadi perhatian dari berbagai belahan dunia, bahkan hingga kini setelah menjadi ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.

Hal ini menjadikan para penulis pada masa lalu hanya terfokus pada Kerajaan Makassar dan beberapa kerajaan-kerajaan besar lainnya di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, sumber-sumber yang akurat untuk melakukan studi tentang Maros, khususnya berkaitan dengan judul buku ini memang mengalami kendala yang cukup berarti.

Kendati demikian, dengan berbagai usaha yang dilakukan, penulis berhasil mendapatkan sumber-sumber yang relevan dengan kajian yang akan dilakukannya.

Bahan-bahan arsip yang kemudian menjadi sumber primernya antara lain: surat keputusan (besluit) dan laporan politik pemerintah Hindia Belanda yang tertuang dalam Politiek Verslag van Timor en Onderhoorigheden. Laporan politik (Politiek Verslag) dan laporan kolonial (Kolonial Verslag) yang disusun secara periodik antara tahun 1907-1915, dan surat kabar yang terbit secara rutin antara tahun 1900-1931 yang kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Jakarta.

Bagi penulis, buku ini salah satunya dimaksudkan untuk mengembangkan kajian sejarah politik lokal dengan fokus pada dinamika dan kontestasi politik antarelite. Pendekatan yang lebih “berorientasi ke dalam” (more endogenously oriented) ini memperlihatkan karakteristik yang amat variatif, antara sekutu dan seteru, integrasi dan perubahan.

Penulis melihat, dalam proses integrasi terjadi pertarungan (kontestasi) kepentingan antarelite yang berakibat pada munculnya ketidakharmonisan hubungan antarelite dan antarrakyat sehingga terjadi transformasi politik dan sosial.

Olehnya itu, Penerbit Pustaka Sawerigading menganggap penting untuk menerbitkan karya ini, salah satunya untuk mengisi kelangkaan buku tentang Maros, khususnya yang mengulas tenfang konfigurasi elite dan kontestasi kekuasaan dalam kurun waktu 1900-1946. Semoga bermanfaat.

***

Pada hari Selasa tanggal 27 April 1900 A. J. Muller, seorang Pengawas Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Belanda yang ditugaskan di Maros, tewas mengenaskan dengan luka menganga di sekujur tubuhnya. Peristiwa yang terjadi sekitar 4 km dari Camba tersebut disebabkan oleh ulah Tuan Muller yang dengan nada kasar mengusir sekelompok pemuda yang sedang berteduh di sebuah baruga yang khusus disediakan bagi para pelancong untuk beristirahat.

Menurut De Makassar Courant yang terbit dua hari setelah kejadian itu, bahwa polisi berhasil menangkap dua pelaku lewat bantuan seorang bangsawan Bone yang tinggal di Camba, yakni Arung Labuaja Andi Calla. Namun, masih ada seorang pelaku yang masih buron yang menurut informasi intelijen, melarikan diri ke Mare, Bone. Operasi pengejaran dilakukan dan pada awal bulan Mei penangkapan terhadap sejumlah warga yang diduga berada di belakang aksi kekerasan tersebut digelar. Seorang Kepala Kampung dan enam orang pengikutnya dari Camba diinterogasi dan diadili sehingga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

Perampokan, pencurian, pembunuhan dan pemerkosaan merupakan empat kasus kriminal yang silih berganti terjadi di Maros di awal abad ke-20. Motif bagi tindakan perampokan dan pencurian sangat jelas karena persoalan kemiskinan yang tidak segera dapat diatasi oleh para penguasa lokal yang pada akhirnya berdampak pula pada ketidakpuasan politik yang makin luas. Pada bulan Juli 1900, seperti yang diwartakan oleh media De Makassar bahwa perampokan terhadap pedagang beras di daerah Koeri terjadi di depan kepala kampung. Pejabat ini seperti tak kuasa menahannya. Pemerintah Belanda menuduh, bahwa karena kemiskinannya sang kepala kampung berada dibalik aksi itu.

Keresahan akibat tindakan kriminal tersebut makin luas dan rakyat yang didukung para bangsawan meresponnya dengan melakukan aksi protes terhadap Asisten Residen Maros yang dipandang tidak mampu menciptakan keamanan dan ketertiban. Pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 1900 suatu perlawanan terhadap aparatur pemerintah Belanda berkobar namun, dapat dipadamkan dengan cepat oleh Asisten Residen. Perlawanan ini menunjukkan betapa potensi konflik dari mereka yang termarginalkan secara ekonomi dan politik, menyimpan bara konflik yang sesekali dapat meletup, menggoyahkan tatanan sosial dan struktur pemerintahan yang ada.

Dalam Harian Soerabajasch Handelsblad yang terbit pada 14 Juni 1902 diberitakan bahwa penduduk Maros di akhir tahun 1901 hingga pertengahan 1902, dilanda kelaparan yang menyedihkan. Hal tersebut disebabkan oleh panen yang gagal, areal persawahan kering kerontang. Musim kemarau yang panjang dan sistem irigasi yang buruk, dan hama tanaman yang menyerang mengakibatkan hidup mereka berada diambang kematian. Laporan H. van Kol dengan judul “De dreigende voiding schaarschte te Maros” (Kelangkaan Pangan yang Mengancam di Maros) menggambarkan bahwa “di sepanjang jalan-jalan utama Maros yang tampak hanyalah kekeringan dan hanya pohon-pohon liar yang seakan enggan hidup”.

Selanjutnya, H. van Kol yang menuliskan hasil observasinya tersebut di Makassar pada 22 Mei 1902 menuturkan; “rumah-rumah telah roboh dan terabaikan, ditinggal pergi oleh pemiliknya karena wabah kolera dan cacar yang menggerogoti. Hanya rumah para kaum bangsawan yang tampak hidup. Beberapa orang pria berjalan dengan langkah gontai, menyampirkan sarung di pundaknya, yang lain mengikatkannya pada pinggul sebagai bentuk hormat. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Bugis, mengenakan ikat pinggang dengan keris dan hampir semuanya memegang tombak di tangan”. Atas kondisi kemelaratan yang menimpa Maros, van Kol di akhir laporannya mempersalahkan kebijakan pemerintah kolonial yang “tidak bertanggungjawab, kurang perhatian dan ceroboh dengan tidak berbuat apa-apa di bidang irigasi bagi daerah-daerah di luar Pulau Jawa”.

Ironi kehidupan yang ditampilkan van Kol persis seperti yang terbaca dari deskripsi singkat yang disajikan para pelancong yang melawat ke Bantimurung di tahun yang sama (1902). Para bangsawan Maros, demikian kesaksian van Kol, hidup layak dengan limpahan padi yang memenuhi kalampang (lumbungnya) yang dijaga ketat oleh para jannang, ternak yang mengelilingi rumah, putri-putri mereka dengan pakaian yang mewah, seperti memberi kesan bahwa kesulitan hidup tidak menghampiri mereka, dan tidak terlalu resah dengan angka kriminalitas yang makin tinggi”.

Polarisasi dan perbedaan dalam pemenuhan aneka kebutuhan hidup tampaknya sangat dipengaruhi oleh kemampuan para penguasa lokal yang tak lain adalah kepala masyarakat adat (kepala distrik) atau regent yang umumnya dijabat oleh bangsawan tinggi dengan sapaan karaeng. Mereka pintar memainkan peran sebagai penagih dan pengumpul pajak, antara lain pajak kepala (bahasa Makassar; sima asaparang atuwong) yang sukses.

Bentuk lembaga hadat Maros yang longgar memungkinkan para anggotanya mengembangkan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan wilayahnya. Perubahan terjadi di tahun 1903. Setiap kesatuan masyarakat adat mulai merasakan hasil yang menguntungkan dari keberhasilan mereka mengolah sawah. Dengan curah hujan yang cukup dan perbaikan sistem irigasi yang memadai, terjadi peningkatan hasil pertanian dan perdagangan lokal. Hal ini didukung oleh semangat persaudaraan yang dipertunjukkan oleh para pemimpin masyarakat adat untuk menghargai pluralitas.

Pada 1904, Galarang Tangkuru meninggal dunia. Galarang ini dikenal oleh Pemerintah Belanda sebagai sosok yang tidak bisa diajak bekerjasama, terutama untuk melaksanakan program-program pemerintah. Ketika ia meninggal, Belanda kemudian mendorong Kepala Distrik Lau untuk menganeksasi wilayah Tangkuru. Di sinilah eskalasi kekerasan lewat agitasi pemimpin Distrik Lau membuncah.

Pada 1908, Sulewatang Raya meninggal dalam perjalanannya ke Mekkah dan kemudian oleh pemerintah Belanda wilayah ini digabungkan ke dalam Distrik Lau. Oleh wakil rakyat Maros yang duduk dalam Dewan Zuid Celebes diajukan usul agar membagi kembali wilayah hadat Maros seperti dahulu. Namun usulan itu ditolak oleh pemerintah Belanda.

Penolakan itu didasarkan pada fakta bahwa para pemimpin hadat Maros sering berselisih satu sama lain untuk saling berebut pengaruh dan hal itu dapat mengancam eksistensi pemerintah Belanda. Salah satu jalan yang ditempuh adalah menggabungkan sejumlah distrik ke dalam tiga kelompok besar (federasi). “Integrasi ini dengan sendirinya dapat meredam keresahan politik yang terjadi terutama untuk mencari solusi atas perselisihan Lebbotengae dan Galarang Appaka dengan Toddo Lima”.

Sementara itu, kondisi di wilayah pegunungan di tahun 1909-1930 tampaknya juga terjadi keresahan yang menimpa para karaeng dalam merespon dinamika politik yang terjadi di wilayah dataran. Kelompok yang cukup berpengaruh seperti dari Lebbotengae (Cenrana dan Camba), yaitu mantan Arung Saharu atau Sawaru (Cenrana) yang bersama keluarga dan pengikutnya dapat memperoleh senjata dan logistik yang memadai sebagai persiapan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Dengan kegigihannya mereka melakukan teror dan berhasil mendapatkan dukungan masyarakat.

Namun, dukungan pada tingkat bawah itu justru menjadi ancaman bagi para karaeng di wilayah dataran yang menduga bahwa simpati atas gerakan itu juga bisa diberikan oleh masyarakatnya. Semenjak tahun 1930 hingga akhir tahun 1946 terjadi polarisasi dan kontestasi antarelite dalam merespon gerakan perlawanan yang muncul pada tahun-tahun pertama di awal abad ke-20, baik oleh tokoh muda maupun sekelompok bangsawan yang berpikir progresif. Percaturan politik dalam kancah federasi makin menambah keruwetan sikap para karaeng untuk menentukan pilihan secara tepat, formula “negara” yang bagaimana yang cocok bagi eksistensi kekuasaannya dalam menatap masa depan wilayah kekaraengannya.

Dalam konteks persaingan antarelite untuk menguasai berbagai sumberdaya, para penguasa lokal yang lazim disapa “karaeng” tersebut berusaha menciptakan kesejahteraan sosial melalui berbagai kebijakan, seperti perbaikan infrastruktur perhubungan, penyediaan sarana pendidikan, pertanian, dan hasilnya pertama-tama digunakan untuk membangun dan memperkuat struktur kekuasaan sehingga menimbulkan ketidakpuasan yang meluas.

“Mengapa para karaeng di Maros dapat bertahan dan elite terfragmentasi dalam kelompok, bersekutu dan berseteru untuk menguasai sumber daya yang berdampak pada terjadinya integrasi dan perubahan? Permasalahan ini dapat dikembangkan lagi dalam beberapa pertanyaan penelitian. Bagaimana para ketua masyarakat adat dapat mempertahankan kekuasaannya ketika diterpa ancaman dan tantangan dari kekuatan internal dan eksternal? Bagaimana dinamika itu berjalan di tengah pertarungan antarelite untuk mengintegrasikan kepentingan berbagai kelompok yang berbeda dalam kehidupan berbangsa? Semuanya akan terjawab dalam buku ini.

Adapun istilah “karaeng” penulis gunakan untuk menyebutkan mereka yang memegang jabatan sebagai kepala distrik atau regen. Demikianlah, misalnya Karaeng Marusu atau Karaeng Turikale maka yang dimaksud adalah Kepala Distrik atau Regen Marusu atau Turikale.

Kajian ini dimulai dari tahun 1900 ketika para karaeng di Maros mulai kehilangan kontrol terhadap bidang politik dan ekonomi sebagai akibat penetrasi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda melalui beberapa cara, antara lain dengan membatasi kewenangan para karaeng dalam mengelola pajak. Sedang pembatasan temporal hingga tahun 1946 dipilih dengan beberapa pertimbangan:

a). Pertarungan antarelite mendapatkan momentum baru dalam semangat kemerdekaan yang mengubah tatanan prilaku para karaeng dalam hembusan demokratisasi. Dekade ini menjadi awal perjuangan bagi para elite terpelajar untuk memperjuangkan berubahnya sistem birokrasi tradisional ke arah modern.

b). daerah yang baru “terbentuk” ini memiliki kewenangan yang dibatasi untuk mengatur dan mengelola dirinya. Artinya otoritas penguasa dalam mengembangkan agenda dan program bahkan tanggapannya atas pembangunan perlu merujuk pada penguasa di atasnya, dan otoritas yang lebih tinggi wajib memantau pencapaiannya. Sementara sebelumnya, bangsawan yang berkuasa lebih menunjukkan adanya kewenangan dalam membuat kebijakan dan peraturan bagi rakyatnya, serta merancang dan menetapkan agenda pembangunannya.

c). berkurangnya hak-hak prerogatif para karaeng dan dewan hadat serta rasionalisasi struktur kelembagaan pemerintahan daerah yang membawa pengaruh pada makin mengecilnya legitimasi para bangsawan.

....

ORDER VIA CHAT

Produk : Onderafdeeling Maros, Konfigurasi Elite dan Kontestasi Kekuasaan 1900-1946

Harga :

https://www.pustakasawerigading.com/2022/10/onderafdeeling-maros-konfigurasi-elite.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi