Potret Pedagang Kali Lima

Gambar Produk 1
Rp 95.000
Ukuran: 14 x 20,5 cm
Kertas Isi: BookPaper bw
Jumlah: 158 hlm
Sampul: ArtPaper 230 gr
Perkembangan Kota Makassar saat ini memang terjadi begitu cepat di berbagai sektor. Khusus dalam hal perdagangan, berbagai industri tumbuh pesat. Pelaku ekonomi pun kian bertambah. Mereka berdatangan mencari peluang bisnis di Kota Makassar.

Di berbagai tempat, utamanya daerah-daerah strategis, ruko-ruko dan pasar-pasar modern (Mall) kian banyak yang dibangun. Arus barang kian cepat dan terus bertambah. Dengan sendirinya perputaran uang juga kian cepat dan bertambah. Kondisi tersebut tentu memiliki efek bagi pertumbuhan ekonomi di Kota Makassar.

Kendati perkembangan Kota Makassar dalam sektor ekonomi, khususnya dengan kian banyaknya bermunculan berbagai pasar modern, namun keberadaan pasar tradisional masih terpelihara dengan baik.

Perkembangan ekonomi di Kota Makassar tentu bukan hanya diakibatkan banyaknya pemodal besar yang masuk, tetapi juga tidak terlepas dari salah satu pelaku ekonomi yang berada di pasar-pasar tradisional yakni pedagang kaki lima atau dalam istilah lain ada pula yang biasa menyebutnya pedagang informal.

Keberadaan pedagang kaki lima merupakan salah satu unsur penting dalam perputaran ekonomi, khususnya di pasar tradisional.

Meski demikian, tidak banyak penelitian, terlebih buku yang memotret keberadaan pedagang kaki lima, khususnya di pasar tradisional yang ada di Kota Makassar.

Karenanya, buku ini berusaha mengisi kekosongan informasi tentang pedagang kaki lima di pasar tradisional, khususnya mengenai sejarah keberadaan dan perkembangan, serta dinamika kehidupan mereka maupun pola-pola mereka dalam pengelolaan ekonomi.

Buku ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif, khususnya bagi pemerintah dalam usaha pembinaan dan pengembangan kualitas ekonomi pedagang kaki lima.

Oleh sebab itu, Penerbit Pustaka Sawerigading sangat meng-apresiasi penerbitan buku ini. Paling tidak, apa yang terdapat dalam buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

***

Kota Makassar, begitulah sebutan nama ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan sekarang. Kota ini tidak jauh berbeda dengan kota-kota lainnya di Indonesia dari segi pembangunan inprastruktur. Walaupun harus diakui bahwa pembangunan di Indonesia dengan tiga pembagian wilayah, yaitu wilayah Indonesia bagian barat, wilayah bagian tengah dan wilayah bagian timur. Dari tiga wilayah tersebut, wilayah bagian barat yang paling cepat pembangunan inprastrukturnya sejak masa kolonial sampai masa kemerdekaan. Kemudian disusul oleh wilayah bagian tengah dan selanjutnya wilayah bagian timur. Pembangunan inprastruktur yang lebih berkembang di bagian barat, juga diikuti pembangunan masalah pendidikan lengkap sarana dan prasarananya. Di samping itu, juga pembangunan dan pengembangan usaha mikro dan makro. Baik yang bergerak dalam perdagangan eksport-import, maupun pengembangan usaha kecil menengah.

Pesatnya pembangunan di wilayah bagian barat, dan lambatnya pembangunan di wilayah tengah dan timur menunjukkan persoalan tersendiri sejak masa kolonial sampai Orde Baru. Melihat kenyataan itu sebagai orang luar dari jiwa zamannya, bisa jadi kita menyalahkan pihak-pihak tertentu, namun kita harus bijak melihat bahwa penilaian kita bisa salah dan bisa benar. Secara kasat mata memang mencolok perbedaan pembangunan antara wilayah bagian barat dengan wilayah bagian tengah dan timur. Hal ini sebagai bagian dari kebijakan pemerintah yang berpihak pada subyektifitas pemerintah, walaupun memiliki alasan tersendiri. Namun hal itu, juga kita tidak bisa menyalahkan pemerintah begitu saja, sebab sejak masa pergerakan nasional sampai masa awal kemerdekaan untuk memerdekakan dan membangun Indonesia sebagai hasil kebijakan pemerintah sudah menyisihkan masalah. Permasalahan yang dimaksud adalah permasalahan dari banyaknya kepentingan dari tokoh-tokoh nasional dengan latar belakang etnis, agama dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda dan berdampak pada pembangunan Indonesia, yang seakan-akan sengaja dinikotomikan.

Sehingga menjadi suatu kewajaran bahwa pembangunan Indonesia dari Sabang sampai Merauke sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945 sampai sekarang masih menyisahkan permasalahan yang tidak kunjung selesai. Salah satu permasalahan yang dimaksud adalah perseteruan politik pada tataran elit politik, baik pada jajaran eksekutif maupun di legislatif. Permasalahan itu diikuti oleh permasalahan turunannya, misalnya persoalan menanggulangi masalah ledakan penduduk di perkotaan, dan masalah penanganan pengangguran serta peberantasan kemiskinan. Pengangguran dan kemiskinan merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan. Salah satu faktor penyebabnya adalah minimnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki angkatan kerja tersebut. Tetapi penyebab kurangnya pendidikan dan keterampilan sangat terkait dengan masalah kemiskinan itu sendiri, artinya bahwa bagaimana caranya orang memperoleh pendidikan yang tinggi jika mereka miskin dan tidak bisa membayar uang sekolah.

Demikian juga masalah keterampilan juga memerlukan biaya untuk mencapai tingkatan keterampilan tertentu. Lalu pertanyaannya kemudian, siapa yang salah, apakah mereka yang miskin, atau elit/pejabat pemerintah. Atau sumber daya alam yang tidak memungkinkan untuk dikelola dalam pembangunan di berbagai bidang kehidupan yang layak, termasuk pembangunan pendidikan. Dalam kajian ini, sesungguhnya bukan untuk menyatakan dan memvonis siapa yang salah dan siapa yang benar tetapi akan melihat persinggungan antara rakyat miskin dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun yang jelas bahwa kemiskinan sejak masa kolonial sampai sekarang masih sangat tinggi, sementara pemerintah belum memiliki solusi yang jitu untuk menanggulanginya. Pada hal dalam UUD 1945 mewajibkan pemerintah untuk memelihara dan bertanggungjawab atas kemiskinan masyarakat. Tetapi seolah-olah pemerintah lepas tangan sehingga golongan miskin ini berusahan mempertahankan hidupnya dengan mencari pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan yang tinggi, seperti menjadi pedagang kaki lima.

Pedagang kaki lima atau pedagang yang bekerja disektor informal merupakan salah satu jawaban dari pelarian para angkatan kerja pengangguran. Data-data dan hasil survey serta hasil kajian beberapa pihak menunjukkan bahwa para pedagang kaki lima kurang memiliki pendidikan dan keterampilan khusus atau keahlian khusus. Pedagang ini sejak awal keberadaannya dianggap masalah oleh pemerintah karena menempati ruang-ruang publik, khususnya di jalan-jalan dan di pasar-pasar. Tetapi menurut catatan yang ada, pedagang di sektor informal telah mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pendapatan daerah. Di Makassar sendiri, pedagang kaki lima di pasar-pasar tradisional memiliki permasalahan yang sama dengan pedagang kaki lima di Indonesia pada umumnya, walaupun juga memiliki persoalan khusus di setiap kota.

Pedagang kaki lima yang banyak terdapat di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung, kota-kota besar di Sumatera, Kalimantan dan kota-kota besar yang ada di Indonesia bagian timur memiliki permasalahan sebagaimana dilansir dalam berbagai laporan media elektronika dan media cetak. Pelaku para pedagang kaki lima ini kebanyakan berasal dari golongan ekonomi lemah alias miskin. Penyebab klasiknya adalah kurangnya pendidikan dan keterampilan sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Keadaan itu yang menyebabkan mereka mencari pekerjaan yang sesuai dan tidak memerlukan pendidikan dan keterampilan yang tinggi, cukup pintar membaca dan berhitung.

Pedagang kaki lima tentu berbeda dengan pedagang formal, karena pedagang formal merupakan pedagang yang mendapat izin pengakuan berusaha dari pemerintah. Sedangkan pedagang kaki lima merupakan pedagang yang tidak atau belum mendapat izin pengakuan berusaha dari pemerintah, sehingga keberadaannya pada suatu tempat sangat rawan untuk digusur dan dibongkar oleh aparat pemerintah. Namun ironisnya pedagang kaki lima masih dibiarkan oleh pemerintah menghiasi jalan-jalan di perkotaan dan di pasar-pasar tradisional di seluruh wilayah kota-kota besar di Indonesia. Tentu pembiaran tersebut bukan tanpa alasan tetapi memiliki nilai keuntungan dari sisi pemerintah, khususnya masalah pendapatan daerah dengan retribusinya. Termasuk membantu pemerintah mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan tingkat kritis.

Kota Makassar adalah salah satu kota besar di Indonesia sekarang yang memiliki jumlah pedagang kaki lima yang cukup banyak jumlahnya yang tersebar di jalan-jalan dan di pasar-pasar tradisional. Keberadaannya menjadi persoalan tersendiri, sebab pedagang kaki lima ini ingin hidup dan makan-minum setiap hari, bahkan memiliki cita-cita dan harapan untuk berkembang dan maju tarap hidupnya. Di samping itu, pedagang kaki lima juga mau dan berupaya supaya anaknya kelak bisa memperoleh pendidikan dan keterampilan yang tinggi agar nanti memperoleh pekerjaan yang layak atau pekerjaan yang lebih baik dari orang tuanya.

Sebenarnya dari sisi sumber daya alam Sulawesi Selatan sangat memungkinkan untuk bisa berkembang dan maju tanpa terjadinnya peningkatan dan pertambahan jumlah orang miskin. Sebab sejarah membuktikan bahwa Sulawesi Selatan pada abad XVI dan XVII dikenal sebagai daerah yang sangat maju dalam dunia perdagangan maritim di dunia, jadi tidak hanya terkenal di Nusantara tetapi di seluruh dunia. Khususnya pada negara-negara maju dan negara berkembang pada masa itu, seperti Inggris, Spayol, Portugis, Belanda, negara-negara Asia Timur dan negara-negara Asia Barat alias negara-negara Arab/Timur Tengah. Sehingga wajar bahwa jauh sebelum masa kemerdekaan, Kota Makassar telah berkembang pesat. Pada abad XVII Kota Makassar tercatat sebagai salah satu kota terbesar dan ramai di dunia pada masa itu.

Pesatnya perkembangan Kota Makassar berdasarkan catatan sejarah, paling tidak ada beberapa faktor. Pertama, adalah letak strategis Kota Makassar pada bentangan Selat Makassar yang memungkinkan kemudahan akses ke dalam maupun ke luar Makassar. Termasuk persinggungan dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia antara barat dan timur, jadi memang Makassar sangat strategis karena berada di tengah-tengah wilayah Indonesia dan telah membuktikan kejayaan kerajaan lokal sejak abad XVI, dan posisi itu tidak berubah sampai sekarang.

Faktor lain yang dianut oleh Makassar adalah politik mare liberum sebagai politik pintu terbuka kepada semua negara-negara untuk melakukan perdagangan maritim. Dalam kenyataannya mare liberum itu tidak hanya persoalan perdagangan maritim tetapi dalam berbagai hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Salah satu bentuk lain keterbukaan Kota Makassar adalah penerimaan berbagai suku bangsa dalam interaksi perdagangan internasinal pada masa lampau. Demikian juga pada masa kekinian di berbagai bidang dan berbagai kepentingan, sehingga tidak mengherankan jika beberapa abad lalu di Kota Makassar telah bermukim beberapa suku bangsa dari Asia dan Eropa yang berdampingan secara damai. Selain faktor itu adalah faktor dukungan kultur maritim yang berkembang di Kota Makassar dan daerah sekitarnya yang memungkikan kemudahan terbangunnya lalu lintas laut serta perdagangan pesisir.

Kebesaran Makassar pada masa lalu menjadi harapan warga kota untuk tetap menjadikan Makassar sebagai kota yang maju dan melakukan pelayanan prima. Namun dari kemajuan itu, bukan berarti tidak memiliki masalah, tetapi persoalan tersebut diharapkan dapat terselesaikan dengan baik, termasuk persoalan yang dihadapi oleh para pedagang kaki lima di Kota Makassar. Memang disadari bahwa dengan berbagai permasalahan, kendala, dan keterbatasan sebagaimana kota-kota pada umumnya. Untuk itu Makassar yang tengah tumbuh dan berkembang sesuai dengan dinamikanya, tetapi kita punya latar belakang kesuksesan yang luar biasa pada masa lalu. Artinya, kita tidak berhayal untuk berkembang dan maju tetapi kita punya spirit dan pengalaman sebagai wilayah yang pernah mencapai kemajuan dan kejayaan, jadi tinggal diusahakan dan tentu saja dengan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan kultur dan perkembangan zaman.

Salah satu persoalan Kota Makassar sebagaimana disebutkan di atas adalah penangan pedagang kaki lima. Persoalan ini terkait dengan permasalahan pertumbuhan penduduk yang begitu pesat dengan berbagai konsekuensinya. Disadari bahwa dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah tentu tidak gampang karena harus berhadapan dengan kenyataan yang sudah ada sebelumnya. Tuntutan atas peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan kebutuhan masyarakat diharapkan terus berkembang seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Selain persoalan di atas juga adanya keterbatasan kapasitas lingkungan atas kebutuhan dan perkembangan kota, mengharuskan adanya upaya sistematis dalam mengarahkan perkembangan kota Makassar sesuai harapan masyarkat. Data dinas-dinas Kota Makassar dalam menanggapi persoalan di atas tentu memiliki perencanaan pembangunan daerah, memiliki kedudukan strategis dalam rangka mengarahkan harapan-harapan masyarakat dalam bentuk arah pembangunan daerah dengan penekanan pada aspek kebutuhan yang mendasar dan yang paling mendesak sebagai skala prioritas.

Namun disisi lain pula bahwa dari usaha-usaha itu juga memiliki keterbatasan untuk memenuhi seluruh kebutuhan dari dinamika dan perkembangan daerah. Dengan demikian perencanaan pembangunan merupakan wujud sistematis kebutuhan daerah dalam rentang waktu tertentu yang dikaitkan dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan. Tetapi kenyataan pada masa lampau dengan kenyataan pada masa sekarang memang sangat berbeda. Kalau pada masa lampau perdagangan maritim sangat meningkat dan hancur akibat campur tangan Komponi Belanda. Sekarang perdagangan tetap meningkat tetapi hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, sehingga golongan miskin tidak pernah terselesaikan. Akibatnya terjadi pengangguran di mana-mana. Desa dengan pertaniannya, juga tidak mampu menanggulangi pengangguran, malah semakin bertambah yang menyebabkan terjadinya urbanisasi atau migrasi desa ke kota.

Persoalan urbanisasi atau migrasi itulah yang melahirkan pedagang kaki lima di kota-kota besar di Indonesia. Pedagang kaki lima di beberapa negara berkembang seperti Indonesia, telah menempati sisi tersendiri dalam perekonomian sebagai salah satu unit usaha. Di kota-kota besar di Indonesia hampir dipastikan bahwa pedagang kaki lima merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan hiruk pikut dan kesibunkan kota. Pedagang kaki lima ini yang menempati pingiran jalan maupun di pasar-pasar tradisional. Apa lagi kalau kita menyebut pasar tradisional, tentu pedagang kaki lima yang mewarnai lapak-lapak penjualan di hampir semua bagian dan sisi pasar dengan berbagai jenis barang komuditasnya. Di dalam pasar inilah terjadi berbagai masalah yang mengitari para pedagang kaki lima untuk melangsungkan usahanya karena harus berhadapan dengan berbagai komponen dan unsur-unsur yang ada dalam pasar. Mulai dari persoalan tempat atau lokasi lapak penjualan, adanya persaingan kepada para pedagang kaki lima, adanya retribusi yang dianggap terlalu tinggi, adanya sistem perkreditan yang dianggap mengeksploitasi pedagang kaki lima, adanya pungutan liar, termasuk preman pasar yang terselubung mewarnai para pedagang kaki lima, dan masalah-masalah lainnya.

Pernyataan tersebut menjadi menarik dan penting untuk dicermati benar salahnya, bukan berarti mengadili kenyataan tersebut. Tetapi paling tidak dapat memberikan gambarang kepada kita seperti apa dan bagaimana kenyataan yang dihadapi oleh para pedagang kaki lima dalam pasar tradisional di Kota Makassar. Orientasi kajian semakin bervariasi dan semakin spasifik, termasuk para ahli ekonomi selalu mengarahkan perhatian utama mereka pada masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan kota-kota dan industri, perniagaan dan perdagangan, keuntungan dari perusahaan, pembagian dan organisasi tenaga kerja, termasuk pasar-pasar yang memiliki persaingan dengan harga-harga. Sementara ilmuan lain menyoroti sesuai dengan pendekatan latar belakang ilmunya, sebut saja ilmu sejarah bisa melihat padang kaki lima berdasarkan kajian sejarah sosial ekonominya.

Keberadaan dan persoalan pedagang kaki lima di kota-kota besar seperti Kota Makassar telah menjadi perhatian khusus pemerintah maupun para pemerhati. Mata mereka terarah pada pasang surutnya arus ekonomi yang disebabkan oleh industri-industri perkotaan dan industri-industri rumah tangga pedesaan. Kemudian industry-industri itu mau tidak mau akan bersinggungan dengan ekonomi mikro yang diperankan oleh para pedagang kaki lima. Demikian juga persoalan pertanian di tingkat pedesaan yang tidak mengalami kemajuan yang siknifikan dapat mempengaruhi industri-industri di perkotaan. Walaupun harus diakui bahwa pola-pola perkotaan dengan industrinya, telah terkonsentrasi dan terpola sendiri berdasarkan situasi pasar.

Sementara pasar menjadi urat nadi perekonomian masyarakat perkotaan, tetapi tidak bisa ditepis bahwa industri rumah tangga banyak diproduksi di pedesaan, apa lagi persoalan pangan, desalah yang banyak memsuplai perkotaan. Keberadaan komoditas itu menjadi ladang pergulatan pengusaha kelas menengah dan para pedagang kaki lima di perkotaan. Sejak dulu, perbedaan antara kota dan desa pada masa lampau terkadang terlalu mencolok tetapi sekarang sudah mulai ada pergeseran, walaupun tetap berbeda pada bagian-bagian tertentu. Kota yang dianggap sebagai obyek atau sasaran para migran yang kita istilahkan dengan magnet. Sebaliknya, ada hipotesa pedesaan menyebutkan bahwa desa menyediakan tenaga kerja kasar, menyediakan bahan-bahan baku, dan bahan makanan yang dibutuhkan oleh para warga kota yang juga persinggungannya berada ditangan pedagang kaki lima; walaupun melihat dualisme ekonomi antara desa dan kota terjadi simbiosis tetapi ada pandangan bahwa desa secara tidak langsung dipaksa membeli hasil industri-industri manufaktur produksi di kota.

Hubungan antara kota dan desa berkembang semakin meluas, kemudian ditambah lagi dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada sosia-kultural diantara dua kepentingan. Namun perubahan kepentingan yang paling mencolok, terjadi dalam hubungan ekonomi. Ekonomi desa yang bersifat intensif di bawah pengaruh perekonomian kota yang semakin terasa dan nampak di pedesaan. Sebaliknya mentalitas yang dianut di pusat-pusat kota mampu menembus masuk pada masyarakat pedesaan, bahkan menjungkirbalikkan prinsip-prinsip produksi orang-orang desa, termasuk merubah pandangan hidup mereka. Hal itulah mengakibatkan terjadinya urbanisasi sebagai pelarian dari ketidakberdayaan desa mengikat warga desa dari belenggu ketidakpastian. Sementara kota semakin gencar membius masyarakat pedesaan dengan berbagai kemewahan yang nampak pada masyarakat kota.

Urbanisasi yang tidak mampu terbendung menyebabkan sesatnya perkotaan seperti Kota Makassar dari pengannguran yang tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang cukup. Ditambah lagi dengan perubahan lain di pedesaan, dimana pada masa lampau seluruh produksi yang dihasilkan oleh petani hanya untuk memenuhi swasembadanya. Swasembada itu untuk dikonsumsi sendiri, dan hanya sedikit yang bisa dijual ke pasar. Sementara pada masa sekarang, para petani melakukan produksi untuk diperjualbelikan, dan malah telah dijadikan suatu kebiasaan dan keharusan pada setiap produktifitasnya. Kemudian kegiatan jual menjual menjadi suatu kebiasaan yang pada akhirnya dijadikan profesi sebagai pedang kaki lima. Apa yang terjadi kemudian adalah petani menjadi wiraswasta, ia berproduksi sekaligus menjadi penguasaha atau paling tidak menjadi pedagang kaki lima di kota-kota. Hal tersebut sebagai efek dari urbanisasi yang semakin besar. Urbanisasi yang semakin besar itu menyebabkan kota tidak mampu menampungnya secara layak, apa lagi bagi mereka yang tidak memiliki pendidikan dan keterampilan khusus. Sehingga pelariannya menjadi pedagang kaki lima, menjadi tukang-tukang, menjadi sopir dan pekerjaan kasar lainnya.

ORDER VIA CHAT

Produk : Potret Pedagang Kali Lima

Harga :

https://www.pustakasawerigading.com/2022/10/potret-pedagang-kali-lima.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi