Pustakawan Membangun Desa (Seri: Kabupaten Luwu)

Stok Habis
Gambar Produk 1
Stok Habis
Rp 215.000
Ukuran: 14 x 21 cm
Kertas Isi: BookPaper bw
Jumlah: 360 hlm
Sampul: ArtPaper/Kinstruk 230 gr
Mencerdaskan Anak Bangsa dari Desa
Oleh Idwar Anwar

Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanat yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab ini, pemerintah terus berupaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa tersebut. Terlebih dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga diuraikan tentang pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah.

Dalam Pasal 28 C (1) disebutkan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Demikian pula di Pasal 28E (1), “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Bahkan terkait pendidikan, Undang-Undang Dasar 1945, baik yang disahkan tahun 1945 maupun Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen keempat yang disahkan tahun 2002. Dalam Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 31 (1) menegaskan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 ini sangat jelas bahwa pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu, berbagai hal dilakukan pemerintah dalam merealisasikan amanah Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, diantaranya dengan membangun lembaga pendidikan dan penunjang lainnya, seperti perpustakaan.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan bahkan disebutkan bahwa kehadiran perpustakaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perpustakaan merupakan wahana belajar sepanjang hayat mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional.

Upaya meningkatkan peran dan fungsi perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga perpustakaan ikut serta memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah pun mengeluarkan Peraturan Perpustakaan Nasional Nomor 3 Tahun 2023 tentang Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial.

Pada Pasal 3 dijelaskan bahwa, “Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial bertujuan untuk: a. meningkatkan peran dan fungsi Perpustakaan dalam meningkatkan kesejahteraan Masyarakat; b. meningkatkan kualitas layanan Perpustakaan; c. meningkatkan pemanfaatan layanan oleh Masyarakat sesuai dengan kebutuhan Masyarakat; d. membangun komitmen dan dukungan Pemangku Kepentingan untuk Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial yang berkelanjutan; dan e. meningkatkan kemampuan Literasi dalam mendukung pemberdayaan Masyarakat.”

Dengan Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial, perpustakaan tidak lagi hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan dan meminjam buku, akan tetapi bertransformasi menjadi wadah menimba pengetahuan dan keterampilan, serta mengasah jiwa dan mengembangkan kreatifitas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Saat ini, di perpustakaan, setiap tidak dapat mengembangkan keterampilan melalui penerapan bacaan, dilakukannya pelatihan-pelatihan tertentu yang dibutuhkan masyarakat. Pelatihan kepemimpinan, pelatihan kewirausahaan dan berbagai pelatihan lainnya yang dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan masyarakat dapat dilakukan di pihak perpustakaan.

Sejarah dan Perkembangan Perpustakaan di Indonesia
Perpustakaan yang dikenal saat ini tentu telah mengalami perjalanan yang cukup pandang dalam sejarah bangsa Indonesia. Keberadaan perpustakaan di Indonesia muncul jauh sebelum kemerdekaan.

Dalam catatan sejarah disebutkan munculnya perpustakaan pertama di Indonesia berasal dari sebuah perpustakaan gereja di Batavia yang dirintis sejak tahun 1624. Perpustakaan ini kemudian diresmikan pada 27 April 1643, bersamaan dengan pengangkatan Kepala Perpustakaan yakni pendeta Ds (Dominus) Abraham Fierenius.
Pada awalnya, perpustakaan tersebut hanya melayani peminjaman buku yang dilaksanakan perpustakaan gereja Batavia yang tidak hanya dibuka untuk perawat rumah sakit Batavia, akan tetapi juga untuk pemakai yang berada di Semarang dan Juana.

Ratusan tahun kemudian muncul pula perpustakaan milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang didirikan pada 24 April 1778. Perpustakaan ini berdiri atas prakarsa Mr J.C.M. Rademaker, yang merupakan ketua Raad van Indie. Keberadaan perpustakaan ini mengandalkan sumbangan dermawan serta bantuan keuangan dari Raad van Indie. Kendati VOC bubar tahun 1799, perpustakaan ini tetap beroperasi dengan mengandalkan sumbangan dermawan.

Perpustakaan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen merupakan perpustakaan khusus karena koleksinya bersifat khusus serta pemakainya terbatas pada peneliti. Perpustakaan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen mengeluarkan katalog buku yang pertama di Indonesia dengan judul Bibliotecae Artiumcientiarumquae Batavia Floret Catalogue Systematicus, hasil suntingan P. Bleeker. Edisi kedua terbit tahun 1848 dengan judul dalam bahasa Belanda. Pada tahun 1924 nama perhimpunan tersebut mendapat tambahan Koninklijk, sehingga menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Selain itu, ada pula Perpustakaan Bibliotheek’s Lands Plantentuin te Buitenzorg didirikan pada tahun 1842 yang merupakan perpustakaan yang banyak menyediakan bahan bacaan terkait pertanian. Perpustakaan ini lahir akibat dilaksanakannya sistem tanam paksa oleh pemerintah Belanda. Hingga pada 1911 perpustakaan ini berubah nama menjadi Centra Natuurwetenschappelijke Bibliotheek van het Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel dan kemudian menjadi Biblioteca Bogoriensis.
Di masa pendudukan Jepang, hampir tidak ada kegiatan kepustakawanan. Hal ini disebabkan Pemerintah Militer Jepang mengerahkan semua tenaga untuk keperluan mesin perang dalm perang Asia Timur Raya. Bahkan di awal kekuasaannya, Jepang melarang peredaran buku berbahasa Belanda, Inggris dan bahasa Eropa lainnya, bahkan sekolah-sekolah tinggi ditutup. Kebijakan ini, baru sedikit berubah ketika Jepang mulai terdesak, itupun untuk memenuhi kepentingan Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, keberadaan perpustakaan belum berdiri sendiri. Pada mulanya, sejak dicanangkan pendiriannya tanggal 17 Mei 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, Perpustakaan Nasional RI merupakan salah satu perwujudan dari penerapan dan pengembangan sistem nasional perpustakaan, secara menyeluruh dan terpadu. Pada masa itu, kedudukan Perpustakaan Nasional RI masih berada dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setingkat eselon II di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, dan badan ini merupakan hasil integrasi dari empat perpustakaan besar di Jakarta yakni Perpustakaan Museum Nasional, Perpustakaan sejarah, politik dan sosial (SPS), Perpustakaan wilayah DKI Jakarta, Bidang Bibliografi dan Deposit, dan Pusat Pembinaan Perpustakaan.

Meskipun secara resmi Perpustakaan Nasional berdiri di pertengahan 1980, namun proses integrasi keseluruhan secara fisik baru dapat dilakukan pada Januari 1981. Bahkan hingga tahun 1987, Perpusnas masih berlokasi di tiga tempat terpisah, yaitu di Jl. Merdeka Barat 12 (Museum Nasional), Jl. Merdeka Selatan 11 (Perpustakaan SPS) dan Jl. Imam Bonjol 1 (Museum Naskah Proklamasi). Sebagai kepala Perpustakaan Nasional pertama yakni ibu Mastini Hardjoprakoso, MLS, yang merupakan mantan kepala Perpustakaan Museum Nasional.

Pada 6 Maret 1989 ditandatangani sebuah keputusan monumental oleh Presiden RI melalui keputusan presiden Nomor 11 Tahun 1989. Dalam keputusan ini menetapkan Perpustakaan Nasional, setelah digabung dengan Pusat Pembinaan Perpustakaan, telah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Dikeluarkannya Keputusan Presiden tersebut membuat Perpusnas mengalami kenaikan status kelembagaan yang berarti Perpusnas telah lepas dari yurisdiksi Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) yang menjadi badan induknya yang telah membesarkannya sejak 1980.

Pada tanggal 29 Desember 1997 diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1997 untuk menyempurnakan susunan organisasi, tugas dan fungsi Perpustakaan Nasional guna mengantisipasi era globalisasi informasi yang sudah kian mendekat. Hal ini dilakukan setelah melihat semakin bertambahnya beban tugas dan sejalan dengan kiat Perpusnas dalam menerapkan layanan prima kepada masyarakat.

Hingga kini, Perpustakaan Nasional RI telah menjadi perpustakaan yang berskala nasional, bahkan internasional dengan segala keunggulan yang dimiliki, baik secara fisik maupun jumlah koleksi dan pelayanan. Lembaga ini tidak hanya melayani anggota suatu perkumpulan ilmu pengetahuan tertentu, tetapi juga melayani anggota masyarakat dari semua lapisan dan golongan dengan konsep yang jauh lebih baik.

Selain itu, seiring perkembangan zaman, saat ini perpustakaan bukan hanya berada di kota atau lembaga-lembaga pendidikan, akan tetapi perpustakaan telah masuk ke desa-desa. Bahkan melalui program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial, perpustakaan semakin memiliki peran besar dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Strategi Mencerdaskan Anak Bangsa dari Desa Melalui Perpustakaan

Saat ini, khususnya setelah dikeluarkannya Peraturan Perpustakaan Nasional Nomor 3 Tahun 2023 tentang Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial, perpustakaan telah mengembangkan diri dan harus hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai salah satu wadah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945:

“… mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ….”

Upaya ini tidak hanya dilakukan di perpustakaan yang ada di kota-kota, tetapi juga di semua perpustakaan desa yang ada di Indonesia. Transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial ini merupakan salah satu strategi pemerintah melalui Perpustakaan Nasional (Perpusnas), tidak hanya untuk mempertahankan eksistensi perpustakaan di tengah kemudahan mendapatkan informasi dari internet, tetapi juga menjadi salah satu bentuk kehadiran perpustakaan untuk mendukung program pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s).

Hal ini juga terkait dengan himbauan dari International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA) yang mengharapkan dalam rencana pembangunan nasional dan daerah di setiap negara dapat melibatkan perpustakaan sebagai mitra. Peran perpustakaan, melalui strategi transformasi berbasis inklusi sosial dapat menjadikan perpustakaan salah satu motor penggerak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berkesinambungan.

Apabila mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, saat ini terdapat sebanyak 31.410 dari 83 794 desa/kelurahan di Indonesia. Jika melihat data ini, masih lebih dari setengah desa/kelurahan belum memiliki perpustakaan. Jumlah ini tentu menjadi salah satu hal yang harus mendapat perhatian dari pemerintah. Belum lagi jika dicermati lebih dalam terkait standar perpustakaan desa berdasarkan Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Standar Nasional Perpustakaan Desa/Kelurahan, keberadaan perpustakaan yang ada di desa/kelurahan masih jauh dari standar.

Meski demikian, dalam 5 tahun terakhir ini, geliat tumbuhnya perpustakaan di tingkat pedesaan dan kelurahan (Perpustakaan Desa) terus menunjukkan trend yang positif. Hal ini tentu merupakan pencapaian yang cukup baik. Terbangunnya Perpustakaan Desa yang tersebar di seluruh pelosok negeri merupakan upaya pemerintah yang harus terus dilanjutkan.

Perkembangan positif ini bukan hanya realisasi dari program pemerintah, tetapi juga merupakan refleksi dari kesadaran masyarakat akan pentingnya literasi untuk mencerdaskan anak bangsa dari desa, sehingga dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul untuk kesejahteraan masyarakat.
Kesadaran masyarakat terus meningkat, utamanya dalam membentuk generasi muda yang handal sebagai pemegang tongkat estafet pembangunan bangsa di masa depan. Keberadaan mereka harus dibekali dengan ilmu pengetahuan yang baik dan kemudahan dalam mengakses pengetahuan. Karenanya, sarana dan prasarana untuk mendapatkan pengetahuan harus terus dikembangkan dan ditingkatkan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Bahkan untuk membantu program pemerintah, bermunculan pula perpustakaan-perpustakaan yang didirikan oleh masyarakat, baik kelompok maupun perorangan. Perpustakaan ini bahkan mampu menjangkau wilayah-wilayah yang terpencil. Munculnya pustaka bergerak, seperti Kuda Pustaka, Becak Pustaka, Perahu Pustaka, Noken Pustaka dan banyak lagi lainnya, merupakan upaya masyarakat untuk menjangkau pelosok-pelosok negeri yang selama ini masih terasing dari dunia pustaka.
Saat ini, dari sekian banyak perpustakaan yang telah didirikan banyak yang telah menorehkan prestasi baik di tingkat lokal maupun nasional. Namun tak sedikit pula yang tidak mampu berkembangan dan keberadaannya terkesan hanya untuk menghambur-hamburkan anggaran. Bahkan beberapa perpustakaan ditemukan dalam keadaan terbengkalai, dengan buku dan rak sudah tidak terurus dengan baik, malah beberapa telah hancur.

Kondisi Perpustakaan Desa tak terurus dengan jumlah buku minimalis dan jumlah pengunjung yang hampir tidak ada menjadi salah hal yang cukup memilukan ditemukan di beberapa perpustakaan desa/kelurahan.

Keadaan ini bukan semata-mata kurangnya minat baca masyarakat atau keberadaan buku telah tergantikan dengan buku digital, tetapi lebih banyak disebabkan faktor perencanaan dan tata kelola perpustakaan desa/kelurahan yang kurang baik. Ditambah lagi keberadaan pustakawan/pengelola perpustakaan yang tidak memiliki kompetensi dan semangat dalam menjalankan tugasnya.

Oleh sebab itu, hal ini harus benar-benar mendapat perhatian dari pemerintah, bukan hanya pada perencanaan dan pengelolaan perpustakaan, bangunan, buku-buku, rak, meja, kursi dan semua terkait fisik perpustakaan, tetapi juga pada kesejahteraan pustakawan/pengelola perpustakaan. Dengan arah baru perpustakaan yang telah bertransformasi, tentu membuat keberadaan perpustakaan menjadi semakin dibutuhkan dalam membantu pemerintah mewujudkan cita-cita bangsa seperti dalam pembukaan UUD 1945.

Untuk itu, keberadaan perpustakaan harus mendapat dukungan dari pemerintah di berbagai tingkatan. Semuanya merupakan sebuah kesatuan yang utuh dalam membangun bangsa. Selain menggunakan anggaran daerah, provinsi dan Perpusnas, keberlanjutan perpustakaan juga harus didukung oleh lembaga pemerintah lainnya, salah satunya melalui Dana Desa.

Keberadaan Dana Desa ini harus dipertimbangkan sebagai salah satu prioritas sumber pembiayaan dalam membangun perpustakaan desa yang memenuhi standar kelayakan, sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Terkait prioritas penggunaan Dana Desa ini dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2022 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2023 disebutkan dalam poin C, bahwa Program Prioritas Nasional Sesuai Kewenangan Desa Prioritas Penggunaan Dana Desa untuk program prioritas nasional sesuai kewenangan Desa, salah satunya meliputi, peningkatan kualitas sumber daya manusia warga desa antara lain: pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan sarana atau prasarana perpustakaan desa/taman bacaan masyarakat, termasuk pengadaan buku dan bahan bacaan lainnya; dan memberikan bantuan biaya operasional penyelenggaraan perpustakaan desa/taman bacaan masyarakat, pendidikan anak usia dini, dan taman belajar keagamaan.

Pemberian skala prioritas pada perpustakaan desa dapat menjadi salah jalan bagi peningkatan jumlah perpustakaan, buku, rak dan perbaikan sumber daya pustakawan/pengelola perpustakaan. Sebab bagaimana pun, keberadaan perpustakaan desa sangat dibutuhkan dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Adanya dukungan APBD dan APBN melalui berbagai saluran penganggaran, salah satunya Dana Desa, pemerintah daerah, termasuk pemerintah desa, seharusnya dapat menggunakan Dana Desa ini untuk membangun perpustakaan yang layak dan memberikan perhatian lebih pada peningkatan kemampuan dan kesejahteraan pustakawan/pengelola perpustakaan desa. Kebijakan pemerintah daerah dan desa untuk memberikan prioritas, setelah sekian lama pemberian dana desa dari pemerintah pusat, seharusnya mulai diberikan dengan memprioritaskan pembangunan dan pembenahan perpustakaan desa.

Sejak diluncurkan pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya tahun 2015, sesuai amanat UU Nomor 16 Tahun 2014, tentang Desa, dana ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pemerintah desa untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi setelah hampir 20 tahun berjalan, sangat minim dana ini digunakan untuk pembangunan perpustakaan, pembenahan sarana prasarana, terlebih untuk peningkatan kapasitas dan kesejahteraan pustakawan/pengelola perpustakaan desa.

Karenanya, perpustakaan desa/kelurahan saat ini seharusnya benar-benar mampu dimanfaatkan sebagai salah satu wadah dalam mencerdaskan anak bangsa dari desa. Untuk itu pemanfaatan berbagai sumber dana, khususnya dari pemerintah seharusnya digunakan untuk membangun perpustakaan desa yang layak sesuai Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Standar Nasional Perpustakaan Desa/Kelurahan.

Mencerdaskan anak bangsa dari desa merupakan keharusan bagi pemerintah. Langkah ini sangat strategis dalam upaya mewujudkan amanat yang termaktub dalam pembukaan UUD Republik Indonesia 1945: “… mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ….”

ORDER VIA CHAT

Produk : Pustakawan Membangun Desa (Seri: Kabupaten Luwu)

Harga :

https://www.pustakasawerigading.com/2023/11/pustakawan-membangun-desa-seri.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi